Jumat, 22 Juni 2012

Tradisi (Serba) Pendek Sastra Kita


(Renungan pendek tentang kritik sastra)
Oleh : R Giryadi*

Usia sastra Indonesia (modern) belum panjang. Karena usia belum panjang, maka ilmu-ilmu yang mempelajari tentang sastra Indonesia belum panjang. Karena belum panjangnya ilmu atau teori tentang sastra, patutkah kita bertanya tentang kritik sastra? Karena tradisi belum panjang itupulalah timbul pertanyaan-pertanyaan. Apakah kita sudah memiliki cara pandang (ilmu) sendiri dalam memahami sastra (Indonesia) yang usianya belum panjang? Bagaimana dengan kondisi kritik sastra kita?

Rabu, 20 Juni 2012

Suara-suara Kematian


Cerpen R Giryadi

 Handphone saya mendapat SMS (Short Message System) dari nomer yang tidak saya kenal, bunyinya : Innalillahi wainnalillaihi rajiun. Saya terperanjat. Tiba-tiba kamar paviliun, tempat Bapak berbaring seperti ikan asin, gempar. Ibu menangis, mbak dan adik perempuan saya juga menangis. Bapak sekarat. Dokter kalang kabut, mencari jalan selamat agar Bapak tetap hidup.
Tabung oksigin mendengus-dengus. Jarum infuse bertancapan di sekujur tubuh Bapak. Alat pemacu jantung terengah-engah. Tangan dokter dan paramedis bersliweran, seakan beradu cepat dengan kekuatan yang lebih tinggi.  Begitu terselamatkan, Bapakku tak jadi mati. Dokter mengankat bahu.  Keadaan kembali tenang. Yang tersisa, suara dengkur Bapak dan isak tangis ibu.

Selasa, 19 Juni 2012

Urip Minggat


Oleh : R Giryadi

Kepala Kodrat seperti berisi pasir. Sudah jelang siang, rokok dan kopi tak ada disisinya. Darti, istri yang dikawin begitu saja tanpa surat nikah, tak ada di tempat. Matanya nyalang ke seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa.
Hanya bangku jebol. Almari kaca pecah. Tumpukan gombal tak dicuci. Kalender usang gambar artis Mandarin pujaannya, terpasang agak miring. Seekor tikus melompat trengginas. Cicak begitu malas bergerak. Suara bising. Panas. Pengap.
“Dasar pemalas!” keluh Kodrat, sembari melempar sarungnya.
Hati Kodrat semakin kemropok. Apalagi, ia tahu Darti pasti pergi ke Wonokromo, menemui gendakannya yang jualan sepatu curian, di dekat pasar Wonokromo.

Minggu, 17 Juni 2012

Lakon Kalabendu



Cerpen R Giryadi

Janturan
Jamane wis edan. Wong edan dadi panutan. Wong waras padha ora jelas. Wong sugih wedi getih. Wong mlarat tambah kesrakat. Nayaka praja kinunjara. Dongane Kiai ora mandi. Kabeh wong padha ora percaya mring Gusti kang gawe dumadi.
***
Pra Lakon
Berita tewasnya Semar, membuat geger penduduk kota. Seluruh saluran televisi menyiarkan secara langsung berita tewasnya Semar. Media online, cetak, dan radio juga tak kalah serunya, mengabarkan tewasnya Semar.
Seluruh kota berduka. Tak hanya berita-berita, ucapan bela sungkawa segera menjamur di seluruh penjuru kota. Di sudut-sudut kota, seluruh baliho iklan berganti warna hitam, sebagai ucapan bela sungkawa. Semua rumah, meletakan karangan bunga tanda bela sungkawa.
Bahkan untuk menghormati tewasnya Semar, seluruh kota mengecat rumah, gedung perkantoran, gedung pemerintahan, toko, mal, plaza, hotel, tempat ibadah dengan warna hitam. Semua orang berlalu lalang dengan baju hitam, payung hitam, dan kaca mata hitam.
“Kita memasuki jaman kegelapan,” kata orang berblangkon dan bersurjan hitam.