Cerpen R Giryadi
Handphone saya mendapat SMS (Short Message System) dari nomer yang
tidak saya kenal, bunyinya : Innalillahi wainnalillaihi rajiun. Saya
terperanjat. Tiba-tiba kamar paviliun, tempat Bapak berbaring seperti ikan
asin, gempar. Ibu menangis, mbak dan adik perempuan saya juga menangis. Bapak
sekarat. Dokter kalang kabut, mencari jalan selamat agar Bapak tetap hidup.
Tabung oksigin
mendengus-dengus. Jarum infuse bertancapan di sekujur tubuh Bapak. Alat pemacu
jantung terengah-engah. Tangan dokter dan paramedis bersliweran, seakan beradu
cepat dengan kekuatan yang lebih tinggi.
Begitu terselamatkan, Bapakku tak jadi mati. Dokter mengankat bahu. Keadaan kembali tenang. Yang tersisa, suara
dengkur Bapak dan isak tangis ibu.
Sudah hampir
satu bulan ini, saya memang selalu menerima telpon dan SMS, dari nomer yang
tidak saya kenal. Saya berbicara secara berbisik-bisik, karena suara di
seberang sana memang seperti mengajak berbicara secara rahasia. Sejak peristiwa itu, saya sering merasakan
datang secara berkelebat sesosok makluk yang tidak jelas jenis kelaminnya.
Setiap kali saya merasakan kelebatan itu, tiba-tiba handphone saya
berteriak keras sekali, seakan memanggil saya agar segera datang. Saya cepat
mengangkatnya, karena tidak ingin terjadi keributan di kamar.
Saya tidak
mengerti mengapa saya begitu tunduk dengan suara handphone saya, dari
pada memperhatikan keluhan Bapak yang setiap detik mengerang-ngerang kesakitan?
Setiap kali saya mendapat telpon wajah Bapak pucat pasi. Terkadang hitam pekat,
tak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Anehnya, setiap kali menerima telpon
saya seperti dipaksa untuk mendongak ke atas tepat di atas kepala Bapak, seakan
sumber suara itu ada di langit-langit kamar. Lebih aneh lagi saya sering
mengakui kalau dirinya benar-benar malaikat, dan sayapun tunduk pada
perintahnya. Bahkan saya atau bahkan mungkin seluruh isi ruang paviliun itu tak
berdaya sekali menghadapi keusilan makluk yang saya akui sebagai malaikat itu.
Ada-ada saja kekurangajaran mahkluk itu.
Kalau kami semua terlena, tiba-tiba ia mencabut jarum infus. Atau bahkan terkadang
mencabut cerobong oksigen. Terkadang juga mengkili-kili ketiak Bapak, sehingga
tiba-tiba Bapak tertawa terpingkal-pingkal tanpa sebab. Kalau Bapak tidak
merasa terusik ia tidak segan-segan mencekik leher Bapak, sehingga ia
berteriak-teriak dan membuat seisi ruangan kalang kabut. Sementara makluk yang
kurang ajar itu melihat kami dari balik jendela kaca sambil tertawa-tawa.
Kemudian ia mengakat handphone-nya. Dan saat itu handphone saya
berdering. Sekali lagi saya berbicara berbisik-bisik, seakan apa yang kami
bicarakan sangat rahisa.
Setiap mendapat telpon saya mengajukan
pertanyaan. Apakah kematian Bapak bisa
ditunda? Apakah keputusan itu tidak bisa direvisi? Setiap saya menerima telpon
dari makluk kurang ajar itu, adik, mbak, dan tentu juga ibu, menangis. Kalau
sudah begitu, ibu yang matanya cekung dan justru menyerupai mayat hidup itu,
mendekap Bapak yang sudah seperti tanah. Disana-sini kulit tubuhnya sudah
mengelupas. Bahkan sebagian sudah ada yang
membusuk.
Memang sejak dinyatakan kritis, sebagian
tubuh Bapak sudah membusuk. Terkadang beberapa belatung keluar dari bagian
tubuh yang persis seperti nangka busuk. Meski begitu nyawa Bapak seperti
rangkap tiga. Saya tidak tahu, meski malaikat itu sering me-worrning kami,
Bapak belum juga mati. Tiga dokter yang menangani sudah angkat tangan. Bahkan
sebenarnya tiga hari sebelum kritis, Bapak sudah dinyatakan mati. Tetapi setiap
kali tangis ibu tersedu-sedu, perlahan-lahan tubuh Bapak yang sudah seperti
balok es, perlahan-lahan mencair dan kemudian meluberlah erangan kesakitannya.
Biasanya, setelah puas mengganggu Bapak,
makluk yang tak saya kenal jenis kelaminya itu melesat menuju ke barat. Saya
sering mengikutinya. Kemanakah makluk yang mirip gumpalan kabut itu? Karena
saya teringat dengan ajaran Haji Bakri, maka saya mengikuti arah ke kanan.
Karena kata Haji Bakri, kebaikan itu berada di kanan. Ya saya terus melaju ke
kanan, menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Berkejar-kejaran dengan waktu.
Melompati masa. Terkadang menembus ruang yang aneh-aneh.
Sampai di manapun saya berada, tangis ibu,
mbak, dan adik masih terdengar. Saya tidak tahu, mengapa tangis ibu begitu
keras. Saya terus berlari menuruti kata hati saya. Tetapi sosok itu berkelebat
begitu cepat. Ketika adzan Magrib berkumandang, saya benar-benar kehilangan
jejak. Saya hanya melihat seseorang tua berjalan sangat lambat, dengan surban
putih melingkar di pundaknya hendak mangambil air wudlu di dekat mushola rumah
sakit. Ketika hendak menyentuh pundak kakek itu mendadak saya melihat
samar-samar sebuah plang nama yang tertempel dekat pintu yang nampak terkunci
rapat. Sekitar seratus meter ke arah kiri mushola, ternyata ada kamar mayat.
Entah mengapa saya lebih tertarik ke kamar
mayat daripada mengikuti orang tua itu. Saya bergegas melihat-lihat ruangan
yang ternyata tidak terkunci. Sayapun segera masuk. Dan entah mengapa
sekonyong-konyong saya melihat tubuh Bapak tergeletak di tempat yang berlapis
porselin. Tanpa pikir panjang saya segera menuju kamar Bapak.
Tetapi niat itu saya urungkan, karena saya
melihat orang tua sedang berjalan trantanan menaiki tangga mushola. Saya
segera membimbingnya. Dan entah mengapa saya segera mengambil air wudlu dan
menyusul shalat Magrib. Saya mengambil shaf
belakang. Saya melihat orang tua bersurban itu berada di shaf paling
depan di belakang imam.
Pada rakaat terakhir, sebelum saya
melakukan salam, tiba-tiba telinga kanan saya mendapat bisikan, ‘Assalamu
alaikum’ saya pun menoleh ke kanan. Tetapi hanya angin dingin yang
berkelebat, menyambar telinga dan perasaan saya. Saat itu saya teringat kakek
tua. Ia sudah tidak ada di tempat. Pada saat itu tiba-tiba saya mendengar suara
tangis. Saya segera beranjak, karena suara tangis itu suara ibu saya.
Hati saya berdebar-debar karena segera
ingin tahu apa yang sedang terjadi. Suara sirine meraung-raung. Tiba-tiba –saya
tidak tahu dari mana arahnya- segerombolan orang-orang aneh –seperti usai
pulang pesta topeng-mendorong puluhan kereta, malaju begitu cepat. Saya hampir
dilabraknya. Puluhan mayat terpanggang seperti ayam. Orang-orang yang
mengiringnya memukul-mukul rebana, seperti sedang mengantarkan hajatan orang
dikhitan. Saya tahu pasti mereka akan segera menuju ke kamar mayat.
Tetapi
gerombolan arak-arakan mayat itu terus berjalan, dan menghilang di kegelapan.
Dan suara bising rebana itu tiba-tiba lenyap. Saya terperanjat, karena saya
hampir bertabrakan dengan suster yang kemarin lusa memarahi Bapak, karena sulit
diatur. Saya hendak bertanya apa yang sedang terjadi? Tetapi suster itu malah menclathu
saya. Saya mengurungkan niat untuk bertanya pada suster yang lebih mirip
setan daripada malaikat itu. Sementara suara rebana itu seperti masih tersisa
di telinga saya atau hati saya. Handphone saya berbunyi, seseorang dari
jauh mengirim SMS. Saya berpikiran makluk aneh itu mulai melakukan terornya.
Tetapi setelah saya baca ternyta SMS dari koordinator liputan saya yang
mengatakan 300 km dari tempat saya berdiri telah terjadi kecelakaan hebat. Sebelum SMS itu saya jawab, tiba-tiba datang
lagi kiriman SMS. Kali ini saya curiga, jangan-jangan teroris yang kurang
pekerjaan itu. Tetapi apa mau dikata SMS itu saya buka : “Selamat Anda mendapat
hadiah 100 juta dari kartu Sim….!” Begitu membaca SMS itu saya berguman : “Jancuk!”
Saya tidak
peduli dengan kecelakaan besar itu dan juga tidak peduli dengan perbuatan
iseng. Meski puluhan korban tewas jadi arang saya tidak akan bersedih.
Seandainya hadiah itu memang benar, saya juga tidak akan gembira. Saya memang
tidak bisa bersedih dan tidak bisa gembira. Saya tahu semua itu ulah manusia
yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga ketika Bapak saya sekarat saya juga
tidak begitu bersedih. Karena saya tahu semua itu karena ulah Bapak yang tidak
bisa diatur. Bagaimana saya harus menangis jika memang manusia telah membuatnya
terjadi?
Setiba di depan kamar paviliun Kamboja no
21, tempat Bapak dirawat, suasana tampak sepi. Tetapi semua lampu dihidupkan.
Sementara di kamar telah datang para keponakan yang masih kecil-kecil. Ia
berjingkrak-jingkrak sambil mengunyah Astor, makanan favoritnya.
Ketika saya masuk, ibu mendekap Bapak yang
matanya membuka sedikit. Napasnya tersengal-sengal. Seorang dokter duduk di
kursi sambil berbincang-bincang dengan mbak saya. Ia berbicara begitu lirih,
sampai-sampai saya tidak bisa mendengarkannya. Saya hanya bisa menilai
jangan-jangan ia sosok yang berkelebatan itu adalah dokter? Saya hanya
mendapatkan berbedaan, kalau dokter itu lebih lembut dan tampan dari pada
makluk yang terus berkelebat di sudut-sudut ruang kamar Bapak.
Alat pemacu jantung, dan selang oksigen
sudah dikemasi oleh suster. Sementara 3 buah infus masih bergelayutan di atas
ranjang Bapak. Saya tidak tahu, apakah Bapak tidak jadi mati? Apakah Bapak
sudah mati kemudian hidup lagi? Atau sekarang justru ia yang merasakan mati
dalam hidup? Saya tidak tahu, mengapa ibu, mbak, adik, mempertahankan Bapak
tetap hidup, meski ia tahu pada akhirnya Bapak secara membabi buta akan tetap
merokok, minum kopi, dan makan daging-dagingan? Bapak berbicara begitu tangkas,
setangkas sebelum ia mengalami koma.
“Sudahlah Pak jangan banyak bicara dulu,”
kata ibu sembari menyeka air matanya.
“Ah, kamu itu bagimana, saya kan ingin
cerita banyak. Saya itu kemarin diajak suster jalan-jalan,” kata Bapak.
“Kemana?” tanya kami serempak.
“Itu ke
rumahnya dik Suwondo, di Lamongan,” jawab Bapak tangkas.
Mendengar
kata Suwondo, kami semua terperanjat. Karena nama itu adalah nama adik Bapak
yang beberapa minggu yang lalu meninggal dunia. Tentu Bapak tidak tahu. Dan
memang ia tidak boleh tahu, kalau adiknya yang di Lamongan itu telah meninggal
dunia karena kecelakaan, sewaktu perahunya bertabrakan di Gresik.
“Terus saya bilang, ya sudah tidak boleh.
Padahal saya kan kangen dengannya. Nanti kalau saya waras betul, saya
akan kesana. Akan saya labrak dia,” seru Bapak.
“Hus. Itu kan adiknya Bapak. Kenapa harus
dilabrak?” sela mbak yang sejak tadi diam seperti patung mendengar cerita Bapak.
“Ah dia itu kurang ajar, masak sedari ia
sekolah sampai ia menikah kan yang membiayai saya. Eh dijenguk kok malah
saya diusir.”
Pas jam
21.00, Suster datang membawa selengser peralatan yang terdiri jarum-jarum
suntik dan berbotol-botol obat-obatan. Saya tidak tahu untuk apa obat sebanyak
itu? Tetapi setelah Bapak mendapat suntikan dari suster yang cantik itu, Bapak
berangsur-angsur tenang. Kami pun tenang. Sementara sosok yang sering
berkelebatan di sekitar kamar Bapak seperti tak tampak batang hidungnya.
Saya tidak mengerti kemana sosok yang
berkelebatan itu? Apakah ia takut dengan suntikan? Apakah ia sudah bosan
menebar teror? Atau ia sudah kehabisan pulsa?
Pada jam 00.00 Bapak tiba-tiba terbangun,
kami yang terlelap juga sekonyong-konyong tersentak bangun. “Ya, seperti ini!”
seru Bapak tiba-tiba. “Tidak terlalu gelap juga tidak terlalu terang. Semua
orang di sekeliling Bapak hanya diam. Tidak cerewet seperti kalian. Persis
seperti ini. Orang-orang tidak ada yang saling sapa. Bahkan ketika saya bertemu
Lik Tohir yang suka memijat Bapak, ia diam saja. Meski saya colek-colek
dia diam aja. Bapak pikir ia sudah lupa dengan saya. Kemana ya sekarang orang
itu? Saya kangen dengan pijatannya,” celoteh Bapak, sembari matanya tetap
terpejam.
Tentu kami tidak bisa memberikan jawaban, Lik
Tohir itu seorang tukang pijat keliling. Setiap hari, dengan tongkatnya yang
diberi kelinting, keliling kampung mencari orang yang mau dipijat. Orang-orang
menyebutnya Tohir Klinting. Semasa saya kecil ia menjadi langganan Bapak pijat.
Ketika saya tamat SMP, Lik Tohir tewas disantap sepeda motor, ketika ia
hendak menyeberang menuju rumah, memenuhi panggilan Bapak. Bapaklah yang kali
pertama membopong Lik Tohir yang berdarah-darah dan dalam keadaan tak
bernyawa.
“Oya mestinya besok kalian pergi ke Bu
De Pin, di Blitar. Tadi ia berpesan, kalau bawa makanan jangan yang
manis-manis. Katanya ia mau mengurangi makanan yang manis-manis.”
Kami semua diam seribu bahasa. Kami tak mau
bicara, karena kami tahu, Bu De Pin seminggu yang lalu telah meninggal
dunia karena kanker rahim yang di idapnya dua tahun lalu.
“Pak De-mu Suwarno itu juga kangen
dengan kalian. Katanya nangka di belakang rumahnya tidak ada yang mau
mengambilnya. Tadi saya diberinya, tetapi saya menolak. Katanya dokter saya
juga tidak boleh makan buah manis. Eh, Pak De mu marah-marah…”
Sekali lagi kami hanya diam. Pak De Suwarno
itu suami Bu De Pin. Dua bulan sebelum Bude Pin meninggal ia jatuh dari
pohon nangka, terus seminggu kemudian ia meninggal. Kami mendapat kabar lewat
telpon. Saya sendiri juga dapat SMS. Hanya itu yang bisa kami terima, sementara
untuk menjenguk barang sejampun, kami tak bisa.
***
Setelah bisa mengajukan permohonan surat
jalan, akhirnya Bapak dibawa pulang dengan selamat. Sejak saat itu bayangan
aneh yang berkelebatan dari pandangan saya berangsur menghilang. Tetapi saya
merasakan ia sering berkelebat tepat di sebalah telinga kanan saya.
Ibu saya gembira, karena Bapak dinyatakan
sembuh total. Atas kesembuhan Bapak, diadakan syukuran. Seminggu ada di rumah, Bapak
seperti orang yang baru keluar dari penjara. Ia meluapkan seluruh isi hatinya.
Dengan lahapnya seluruh makanan ia makan. Bahkan sambil berbincang dengan
tetangga yang menjenguk, Bapak menyedot rokok kesukaannya. Kami semua tak bisa
mencegahnya. Sudah kami perkirakan, Bapak akan tetap seperti biasanya. Namun,
demi kegembiraan Bapak, kami mengalah.
Ketika suasana rumah sedang riuh rendah
itu, tiba-tiba terdengar Bapak terjatuh di kamar mandi. Saya berlari ke kamar
mandi. Beberapa tetangga yang menjenguk ikut berlarian ke kamar mandi. Bapak
sudah terkapar dan tidak sadarkan diri.
Orang-orang membopong Bapak ke kamar.
Kemudian membaringkannya di tempat tidur. Di luar anak-anak berlarian begitu
gaduh. Ibu menangis. Mbak menangis. Adik menangis. Handphone saya pun
menangis : “Innalillahi Wainnalilaihi Rajiun”.
Sidoarjo, Oktober 2003
*)
Kenang-kenangan bersama almarhum Bapak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar