Senin, 07 Januari 2008

Lelaki Berselimut Kafan

Oleh : Rakhmat Giryadi

Setelah bertahun-tahun menjadi buronan, akhirnya seorang lelaki yang sudah tua keluar dari persembunyiannya. Hari itu adalah hari pertama ia keluar dari persembunyiannya. Lelaki yang dulu gagah perkasa, kini sudah reot. Batuknya seperti terompet. Tubuhnya menyebar bau bacin. Di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit, ia berjalan mengendap-endap seperti tikus dengan koreng di tubuhnya.
Orang-orang menghindar sambil menutup hidung. Tong sampah dikorek-koreknya. Ia berebut nasi busuk dengan tikus got dan kucing liar. Seekor anjing menggertaknya. Tangan tua itu tak sempat menyentuh nasi yang penuh lalat. Nyawanya hampir lepas. Lapar, kembali mencakar-cakar perutnya. Sarung kumalnya dibebatkan diperutnya yang ceking.

Di tengah perutnya yang melilit-lilit, ia ingat masa keemasannya dulu. Orang-orang, meminta tabik. Segalanya telah dimiliki. Tetapi kini, keperkasaannya telah dimakan lumut yang terus menjalari tembok kekuasaannya. Sedikit demi sedikit tembok itu runtuh dan hanya tinggal lumut dan ilalang tumbuh subur di antara reruntuhannya.
“Dimana ada penjara untuk saya!” serunya di tengah kota yang penuh dengan asap hitam.
Kepada orang berbaju merah lelaki itu bertanya. Orang berbaju merah itu malah lari terbirit-birit. Orang berbaju kuning ngumpet di dekat rimbun pohon. Orang berbaju hijau berdoa semoga dia tidak dihampiri. Orang berbaju biru bergaya seperti penjual obat. Orang-orang yang berbaju hitam, mengiba-iba. Orang berbaju abu abu meraih hati dengan sekedar menunjukan jalan, meski jalan itu tidak tahu berarah ke mana.
Lelaki itu terus menyusuri trotoar bobrok. Bunga-bunga bogenvil tumbuh tak terawat. Di sebuah etalase toko ia melihat gambar wajahnya terpampang di sampul buku. “Ya, saya menyesal seperti dirimu, anjing! Saya ingin bertaobat. Antarkan saya pada polisi, atau kalau kau tau antarkan saya ke neraka biar saya dihukum-Nya. E..tapi surga juga boleh,” katanya, sambil pergi begitu saja.
Beberapa meter dari etalase toko yang kacanya pecah di sudutnya, ia melihat pamflet-pamflet tertempel di tiang-tiang listrik, tembok-tembok, sekat-sekat pembatas tanah kosong, kios-kios kecil. Warnanya buram. Tetapi ia masih mengenali foto yang ditempel dengan tulisan: BURONAN RAKYAT. Tulisan itu hampir tidak bisa dieja. Karena disana-sini telah dicoret-coret dengan cat semprot.
“Silahkan tangkap saya, Pak Polisi! Tolong antar saya ke penjara!” serunya pada seorang Polisi yang sedang menilang kendaraan bermotor. Polisi itu tak menggubrisnya. Uang damai segera dimasukan ke kantong celananya.
“Pak Polisi tunjukan saya, di mana kantor, Anda? Tangkaplah saya! Sayalah koruptor yang Anda cari-cari!” katanya dengan penuh harapan.
“Koruptor? Di negeri ini koruptor bukan penjahat. Tetapi profesi! Pergilah sana!" kata Polisi, sembari tersenyum kecil.
Lelaki bau tanah itu segera pergi. Keningnya berkerut. Kerutannya mempertegas garis ketuaannya. Ia sedang memikirkan kata-kata polisi tadi : Koruptor bukan penjahat. Korupsi sudah menjadi profesi.
Lebih kaget lagi, ketika mata lelaki itu melihat fotonya ditempel di tembok-tembok rumah, tiang penyangga jalan layang, tembok mal, plaza, hotel, motel, condominium, kantor polisi, gedung dewan, gedung kejaksaan. Bahkan ada yang dibuat spanduk, baliho berukuran raksasa. Poster-poster itu masih kelihatan baru. Disana tidak lagi tertulis BURONAN RAKYAT, tetapi, KEMBALILAH PAHLAWANKU!.
Sayang tak seorang pun yang mengenali dirinya. Foto yang dipampang itu foto seratus tahun yang lalu, atau berapa abad yang lalu atau entah tahun yang keberapa. Entahlah. Orang-orang besar gampang lupa dengan waktu yang telah berlalu. “Saya seorang pahlawan?” tanyanya kepada diri sendiri.
Ia tidak percaya dengan kata-kata dalam poster itu. Seorang koruptor yang telah menghabiskan trilyunan rupiah dianggap pahlawan? Apakah dunia sudah terbalik. “Ah, ini jebakan. Ini sindiran. Saya tidak percaya. Hukumlah saya, Pak Polisi. Saya sudah bosan dengan pelarian ini!” serunya, di tengah hiruk pikuk bunyi klakson dan umpatan para sopir mikrolet. Atau erangan anak-anak kecil mabuk lem.
Orang-orang tertawa melihat polah tingkah lekaki itu yang mengaku sebagai koruptor. Anak-anak kecil yang lupa sekolah mengira lelaki itu badut sirkus yang kehilangan rombongannya. Mereka bersorak riang. Kaleng yang biasa untuk mengemis mereka pukuli dengan uang logam. Lalu-lintas berhenti total. Para sopir dan penumpang berjoget di atap mobil.
Orang-orang yang menghuni gedung bertingkat juga berjoget. Sebuah helikopeter jatuh menabrak tower. Diketahui, pilotnya juga ikut berjoget di atas baling-baling. Pertunjukan itu dilaporkan langsung oleh 100 stasiun TV dalam dan luar negeri. “Ini sihir Inul Daratista, Anisa Bahar, Trio Macan. Semua menjadi ‘Kucing Garong.’” Teriak seorang reporter TV swasta sembari mengguncangkan pantatnya.
"Sayalah koruptor!” Tangkaplah saya," teriak lelaki tua itu.
Sedetik kemudian, kata-kata lelaki tua itu menyebar keseluruh negeri dan menyebar menjadi tagline baru. “Kita semua koruptor. Tangkaplah kita!” teriak orang seluruh negeri, sembari berjoget.
Seorang Polisi muda, mengerutkan kening. Sejurus matanya menatap lelaki yang berpakaian compang-camping. Bau bacin menebar keseluruh penjuru ruangnya.
“Sudahlah. Kenapa ragu-ragu. Sayalah yang menghabiskan uang negara trilyunan itu. Saya sudah bosan hidup dalam pelarian,” katanya sambil menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol. Seribu kamera wartawan TV membidik adegan itu. Sedetik kemudian TV-TV menyetop siarannya. “Breaking News!” orang-orang mematung, melihat adegan yang mengharukan itu. Tetapi belum sempat air mata menetes, acara itu telah berganti lawak. “Ha..ha..ha..! Ternyata Srimulatan, to ini tadi!”
Keesokan harinya lelaki bahu tanah itu datang lagi ke kantor Polisi. “Hai orang gila mau apa lagi!” bentak Polisi muda.
Lelaki tua itu tak memperdulikannya. Ia menunjukan poster pada Polisi yang berpostur tambum. “Ini adalah saya. Saya ingin menyerahkan diri. Tangkaplah!” katanya dengan nada bergetar.
“Haaaa…haaaa….haaaa…!” Polisi itu tertawa lebar, selebar-lebarnya. Teman-temanya yang tahu, segera ikut tertawa. Siang itu, siang yang paling aneh. Ada seorang datang menyerahkan diri dan mengaku sebagai boronan kelas kakap. Tak biasanya ada penjahat yang menyerahkan diri begitu saja. Aneh sekali. “Haaaa..haaaaa…haaa!” kantor Polisi itu menjadi riuh.
Kotapun juga riuh penuh gelak tawa seperti gedung Srimulat tahun 1970-an. Orang-orang tertawa mendengar cerita anekdot itu. “Adu pungguk merindukan bulan. Kasihan deh aku, istruku datang bulan,” kata seorang eksekutif muda yang baru saja menikah.
“Tidak nyambung, blas!”
“Seperti dagelan!”
“Dia berbakat jadi politikus!”
“Semestinya, kamu pergi ke panti jompo atau bunuh diri saja,” ledek Polisi yang berkumis, ketika hari perlahan-lahan gelap dan lampu-lampu kota berpendar, menyambut malam.
Orang-orang berlarian seperti berkejaran dengan gelap. Mobil berdesak-desakan. Klakson berteriakan. Lengkingan peluit Polisi tak pernah berhenti. Adzan magrib seperti muncul dari lorong-lorong gaip kemudian menghilang begitu saja. Orang-orang tak mendengarnya. Di telingannya tersumbat handfree. Mobil-mobil bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama housemusic. Dua atau tiga mobil saja yang terbang, mengikuti alunan seruling Sunda yang mendayu-dayu. Setiap senja, orang-orang mempersiapakan upacara adatnya sendiri-sendiri. Mereka para pertapa agung di sudut-sudut mal-mal, di kafe-kafe, bar-bar, pub, atau karaoke. Mereka para penyembah dewa malam. Dewa para pemabuk.
Sementara, lelaki bau tanah itu, berjalan seperti bajaj. Dilihatnya poster yang masih dalam genggamanya. Diejanya huruf demi huruf. Tetapi ia tak pernah menemukan arti dari tulisan itu. Yang ia tahu dan yakin, bahwa foto itu adalah dirinya. Tapi bagaimana orang-orang mau tau bahwa ia adalah buronan yang dicari-cari sebelumnya?
Sejarahpun telah menimbun namanya. Anak-anak sekolah telah membaca sejarah dengan cara terbalik. Bahwa sejarah mencatat nilai-nilai luhur. Sejarah adalah riwayat orang-orang besar. Tidak ada gembel, pecundang yang masuk dalam catatan sejarah. Buku-buku sejarah tetap seperti situs-situs purba yang menyimpan rahasianya. Anak-anak tidak tahu di balik lipatan-libatan buku sejarahnya ada darah pengingkaran.
“Bakar! Bakar saja!” teriak Pemimpin Kota, melihat noda darah di buku-buku sejarah.
Maka ribuan buku dibakar. Otak anak-anak dibaycline sampai putih bersih dan tidak amis. Maka sejarah telah lenyap. Anak-anak dan juga jutaan orang di kota ini dibuatkan sejarah baru. Sejarah yang tidak menimbun bau anyir darah.
“Orang-orang sudah pada pikun dengan sejarahnya,” kata lelaki tua itu sembari menyandarkan tubuhnya pada tembok berlumut. Bau pesing menusuk hidungnya. Seekor kucing garong, melompat dari tempat sampah. Giginya yang tajam, menggondol orok bayi yang busuk, dibuntal tas plastik warna hitam.
“Generasi baru dimatikan. Dibuang di tempat sampah. Generasi lama dibiarkan terkapar dengan segunung dosa di pundaknya,” desah lelaki itu. Sesaat kemudian terdengar dengkurnya. Orang-orang kota masih dengan darahnya yang meluap-luap.
“Urip gur mampir ngombe!” teriak anak muda sembari menuangkan vodka ke sloki yang dibuat dari potongan botol air mineral.
***
Suatu hari, menjelang magrib, lelaki itu pergi ke masjid. Ditemuinya ta’mir masjid. Ia katakan padanya, bahwa ia ingin menyerahkan diri sebagai buronan. Tak lupa ia menyodorkan poster yang dibawanya.
Ta’mir yang sudah tua dan sering dipanggil Pak Haji itu, berkata sambil menutup hidungya. “Kalau mau menyerahkan diri bukan di sini tempatnya, Pak, tetapi ke kantor Polisi,” sarannya.
Di gereja, di pura, di vihara, ia deterima dengan saran yang sama. Dilembaga peradilan tertinggi ia malah disuruh bertaubat dulu dan kemudian pergi ke panti jompo, atau terkadang digelandang Satpol Pamong Praja ke Dinas Sosial. Di kantor-kantor media massa ia dimasukan di kolom anekdot dan dibuat tertawaan para pemirsa dan pembaca. “Seorang lelaki kere, ingin merubah sejarah bangsa besar!” kata pakar sejarah dan politik di kaca-kaca televisi.
Ibu-ibu menangis sesenggukan. Berita tentang lelaki tua tadi seperti cerita opera sabun. “Dia pasti akan menang di endingnya nanti,” komentar ibu rumah tangga sembari mengunyah popcorn kesukaannya sebelum iklan-iklan lain mempengaruhi seleranya.
Lelaki tua itu bingung, ia tidak tahu harus berserah diri pada siapa. Ia pergi menyusuri kota yang disergap gelap malam. Ia melihat orang-orang seperti hidup bahagia. “Apakah mereka juga orang suci?” tanya lelaki itu dalam hati.
Di sudut yang lain orang-orang saling membunuh, hanya untuk merebutkan recehan. Sementara di TV-TV menyiarkan aksi pembunuhan itu secara langsung. Pemuda-pemuda dan remaja tanggung bertepuk dada. “Keren abis!”
Di kantor Polisi lelaki tua itu kembali ditertawakan. “Memangnya apa yang Bapak perbuat?” tanya seorang Polisi, sembari menjalankan bidak caturnya.
“Korupsi,” kata lelaki itu bergetar.
“Seorang koruptor itu, paling tidak bertampang tegar. Tidak memelas. Pakai dasi. Bawa mobil berkelas. Datang ke Polisi di dampingi dua atau tiga pengacara bonafide. Gembel semacam engkau apa yang dikorupsi? Skak! Mati!” dua Polisi itu kembali tertawa.
Kini, hanya tinggal satu tempat yang bisa ia tuju, rumahnya. Rumah yang telah lama ditinggalkannya dengan seluruh isinya. Lelaki bahu tanah berjalan menuju rumahnya. Namun sebenarnya ia ragu-ragu, karena ia pun sudah lupa bentuk rumahnya. Yang dia ingat hanya kata-kata kenanga. Atau Jl. Kenanga.
Setelah berhari-hari berjalan, lelaki itu baru menemukan Jl. Kenanga. Sebuah jalan yang penuh dengan pohon bunga kenanga. Lelaki itu mereka-reka ingatannya. Tak satupun yang ia ingat. Hanya bau harum bunga kenanga itulah yang meyakinkan dirinya bahwa di jalan itulah ia pernah tinggal.
Dan mobil mewah itu masih berjajar-jajar di sepanjang jalan. Hanya saja orang-orang yang hilir mudik di jalan itu semua berpakaian serba hitam dan berkaca mata hitam. Ribuan wartawan dari koran dan televisi tampak bergerombol di depan pintu gerbang. Di sepanjang pagar rumah yang tinggi itu, berjajar karangan bunga ucapan duka cita.
“Siapa yang meninggal dunia?” tanya lelaki itu, pada seorang yang baru turun dari BMW seri terbaru. Orang itu hanya menjawab singkat : “Eyang!”
Lelaki tua itu melihat foto yang dihias dengan bunga beraneka warna, dipajang dekat pintu gerbang rumah. Foto itu seperti dirinya. Bahkan sangat mirip. Di bawah foto itu ada tulisan, ‘Telah Meninggal Dunia Eyang Kakung yang Tercinta, dalam usia 100 tahun. Semoga Arwahnya Diterima Di Sisi Tuhan YME.’
“Kalau dia telah mati, lalu saya ini siapa? Hidup dan mati ternyata begitu dekat. Dekat sekali!” kata lelaki itu, sembari membetulkan sarungnya yang persis kafan.

Surabaya, Desember 2006