Kamis, 28 Juni 2012

Aku dan Laki-Laki Miskin


Esai R Giryadi

Mesin ketik tua, peninggalan bapak tak segera aku jamah. Padahal kepala ini seperti sudah mau meledak, menumpahkan segala imajinasi yang menyodok-nyodok ubun-ubun. Tetapi tangan ini seperti kelu, ketika hendak memukul tut-tut mesin ketik. Sampai beberapa menit kemudian aku tak beranjak dari tempat duduk.
Di mataku berkelebat, laki-laki tua dengan sorot mata tanpa daya hidup. Di punggungnya seperti memanggul beban berat yang harus diangkatnya ke puncak gunung. Tetapi batu itu menggelundung begitu saja. Dan laki-laki itu kembali memanggulnya ke puncak gunung. Padahal, masih ada empat batu yang belum diangkatnya?
Aku menghela napas. Sampai sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan satu jam. Tak satu katapun berkelebat dibenakku. Aku pejamkan mata. Aku seruput kopi pahit. Aku hisap racun tembakau. Aku menyembah Dewa Ide. “Emangnya gue pikirin,” kata Dewa Ide, mendengar jeritan hatiku.
”Buset, aku ketahuan!” keluhku pada teman yang tiba-tiba hadir disampingku.
”Kalau otak lagi kosong mlompong, jangan paksa menulis,” sergah temanku yang bertubuh kurus. (Mungkin lebih kurus dari aku).

”Membacalah. Membacalah. Memabacalah,” bisik temanku yang lain, disebelah telinga kananku.
Temanku yang kurus, dan mengaku bernama Tjahjono Widijanto, mengusiku dengan pidatonya yang panjang. Tetapi dari sekian pidatonya yang panjang itu, hanya bisa saya hayati selarik kata-katanya. Kapan saja saya bisa menulis, bila tergerak untuk menulis. Soal tempat tidak masalah. Tentunya, kamar kerja saya yang paling sreg!’ dan kata-kata inipun ia kutip dari pengakuan seorang empu sastra penerima nobel 1991, Nadine Gordimer.
Tetapi terus terang, di balik pernyataannya yang sederhana itu, ada sesuatu yang tidak sederhana. Nadine telah dibentuk karakternya oleh lingkungan yang kejam. Ia melihat penindasan atas kulit hitam oleh kulit putih. Ia manusia pemakan buku yang serakah. ”Sejak kecil saya paling suka menghabiskan waktu saya di perpustakaan. Bagi saya, perpustakaan itu tempat yang paling menyenangkan.”
Bagi Nadine Gordimer perpustakaan adalah tempat memompa inspirasi sekaligus ‘mengembara’ dalam samudra wawasan.
”Jadi menurutmu, kemauan saja tidak cukup?” tanyaku, memotong monolognya.
Ia menganggukan kepala. Dan aku percaya, padanya. Pada satu kesempatan aku sempat berkunjung ke rumah teman-teman yang gila akan kata-kata. Dan survei membuktikan, di rumah mereka memang (hanya) dipenuhi dengan buku-buku, kertas, koran, majalah, makalah, kliping-kliping, dan lain sebagainya. Tidak ada yang lain. Kalau ada yang lain, aku anggap sebagai keberuntungan saja.
”Ya, ya..aku percaya!” Tanganku meraih kertas yang masih menggulung di rol mesin ketik. Aku menekan kait pembebas rol. Tetapi kertas yang hendak aku tarik itu, seperti ada yang menariknya kembali menggulung di rol mesin ketik.
Tiba-tiba ada sosok lain melesat dari Rumah Kaca. Bersama yang empunya rumah, Pramoedya Ananta Toer, ada sosok muda yang idealis, Minke, menghalauku untuk tidak mengurungkan niat, membatalkan menulis. ”Sepandai apapun, jika kau tidak menulis, kau tidak akan dikenal sejarah,” katanya kemudian.
”Tetapi aku mau membaca buku-buku dulu.” elakku.
”Carilah kata-kata yang menarik. Kemudian tuliskan,” kata Tonni Morrison yang muncul dari celah-celah genting masa lalu. ”Bukankankah sejak kecil, kau sudah diajari orang tuamu, ’membaca’. Ia mendongeng dengan bahasa yang penuh imajinasi. Saya kira dongeng adalah buku yang tidak akan pernah lapuk oleh zaman,” kata penulis novel Song of Solomon, yang pada tahun 1977 best-seller.
Tonni Morrison dikenal sebagai ‘pengarang puitis’. Barangkali ini dapat tercipta karena ia pemuja bahasa. Baginya, penggunaan bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi tetapi juga dianggapnya sebagai sumber seni sastra dan peradaban.
Tonni mengaku termasuk pengarang yang ‘lamban’ karena sebelum menulis mematangkan konsep lebih dahulu. Ia mengaku hanya bisa menulis pada pagi hari dan akan sulit menulis setelah ia bekerja sepanjang hari, misalnya mengajar. Baginya, menulis benar-benar memerlukan konsentrasi.
Demi kehati-hatian itu, Tonni menulis ceritanya dengan pensil. Jika tidak ada pensil, ia menuliskannya dengan bolpoin. Setelah semuanya selesai, barulah ia menulisnya di mesin ketik. Hal yang sama juga dilakukan oleh sahabatku, Ratna Indriaswari Ibrahim. Belakangan aku menyadari, hal yang sama telah aku lalukan.
Tonni mengaku, memperoleh gagasan karya-karyanya dari ‘rasa sentitifnya’ pada suatu masalah. Ia berempati dengan apa yang dilihatnya, khususnya yang menyangkut kehidupan perempuan. Maka karya-karyanya pun bicara tentang perjalanan hidup dan nasib perempuan, seperti yang jelas tersirat dalam Sula dan Beloved.
Lalu apakah aku punya sensifitas. Lebih tepatnya, apa titik kegelisahanku untuk aku tuliskan? Apakah dengan tanpa sensifitas, aku tidak bisa menulis? Dari situ aku menyadari, dibalik kata-kata menulis itu mudah, ternyata membawa konsekwensi tidak mudah juga.
”Ini untuk mendorong agar kita mau menulis. Bagaimana kamu bisa mengaktualisasikan ilmumu kalau tidak menulis,” kata Minke.
”Kita harus membangun tradisi membaca. Paling tidak, dari lingkungan diri sendiri,” kataku.
”Ya, ya..para penulis besar dunia, rata-rata pembaca yang baik. Mereka sedari kecil sudah dihadapkan pada buku-buku. Mereka sudah punya perpustakaan pribadi,” kata Toeti Heraty, sembari membuka-buka buku,  Hidup Matinya Sang Pengarang (2000).
Tidak kalah pentingnya, adalah pengalaman hidup. Para penulis besar, seperti Nadine Gordimer, Tonni Morrison, Virginia Woolf, Gunter Gress, Naguib Mahfoudz, Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, Ahmad Tohari, Danarto, adalah pribadi yang terasah dan memiliki pengalaman hidup yang banyak.
”Penulis perlu punya sensisitifitas. Kalau tidak sensitif, bagaimana kamu bisa terangsang menulis?” kata temanku yang lain.
Sedetik dari kelebatan kata temanku itu, aku teringat dengan seorang laki-laki dengan sorot mata tanpa daya hidup. Siapa dia? Melihat sosoknya aku sangat mengenalinya. Tidak tahu, mengapa aku kesulitan menyebut namanya. Padahal, dari gerak-geriknya,  aku bisa merasakan. Itu adalah gerak-gerik diriku. Apakah laki-laki itu diriku?
Tidak tahu. Setiap kali akan menulis. Laki-laki itu berkelebat di benakku. Aku sering mengejawantahkan ia adalah aku. Tetapi aku tidak pernah berhasil menyebut namanya. Tetapi aku punya sebutan favorit : Laki-laki miskin.
Mungkin laki-laki miskin itu adalah aku. Atau aku adalah laki-laki miskin. Karena itu aku tidak heran, kalau dorongan menulis karena ’kemiskinanku.’ Aku mengambil pensil atau bolpoin, dan kertas bergaris, atau kertas cd. Kemudian menuliskannya dengan seksama, apa yang ada dalam benakku. Tak terasa aku telah menulis cerita pendek, judulnya Laki-Laki Miskin.
Tulisan pertamaku itu aku tunjukan ke temanku, yang sejak dini sudah menjadi pemakan buku, dan penulis puisi yang baik.
”Kirim saja ke media massa!” katanya, seperti mengisyaratkan menulis di media massa itu gampang.
”Belum aku ketik. Lagian saya ndak punya biodata penulisan,” sahutku.
”Yang penting kamu ketik dulu. Kalau sudah selesai kirim ke media massa,” tegas temanku, seolah-olah cerpenku sudah layak muat (bukan, muak!).
Pertengahan tahun 90-an, temanku sang penyair ini, memang rajanya media. Hampir setiap bulan,  tulisannya muncul di media massa baik lokal maupun nasional. Tak jarang, tulisnya dimuat di media massa negeri seberang. Pada era itu, ia tergolong penyair yang sangat produktif.
Sementara aku yang seusia dengan dia, masih belajar menulis cerpen.
”Terlambat!” sergahku.
”Tidak ada kata terlambat. Pokoknya tulis saja, kemudian kirim,” katanya suatu kali, di kamar kostnya yang kecil dan pengap, karena banyak buku, koran berserakan di lantai kamar.
Ya sudah aku menurut. Pekerjaan pertama adalah mengetik, cerita pendekku.
”Masya’Allah, untuk mengetik ulang saja, ternyata begitu sulit. Aku harus bergelut dengan diriku sendiri. Setiap kali menekan tut untuk mengetik kalimat yang aku tulis di kertas bergaris, yang muncul malah kalimat-kalimat lain, yang terkadang bertentangan!” kataku, suatu ketika, di warung nasi pecel Madiun, ujung Jl. Gede, Malang.
”Kata Muhammad Diponegoro, itu bagian dari editing. Lanjutkan ... (Sssst...ini bukan kampanye),” katanya, sembari menyeruput kopi pahit.
Editing? Wow..seperti kata-kata yang baru aku kenal. Editing. Maka ku cari buku Mohammad Diponegoro. Betul juga, sebelum tulisan dikirim, ada baiknya melalui proses editing. Dan ketika aku melakukan pengetikan ulang, secara tidak langsung telah melakukan editing.
”Leo Tolstoy, menulis ulang novelnya Perang dan Damai sampai tujuh kali. Dan ia menulis dengan pena, bukan mesin tik,” bisik Muhammad Diponegoro, sembari menenteng bukunya, Yuk, Menulis Cerpen (cetakan pertama,1985).
Apa yang dibisikan Muhammad Diponegoro itu seperti membangkitkan kepercayaanku untuk nekat mengetik ulang cerita pendekku. Hasilnya, tidak puas. Ketik ulang, tidak puas lagi. Ketik ulang lagi, tidak puas lagi. Stoooopppp!
”Mengapa begitu sulit, menyelesaikan satu cerpen saja. Dua tahun telah belalu. Mengapa begitu sulit, haruskah aku sudahi saja, keinginanku menulis dan mengirimkan ke media massa,” kataku.
Ndi se cerpenmu, tak wacane?” kata Tengsoe Tjahjono, yang menerobos pintu pesimistisku. Ia kemudian memotifasiku untuk terus menulis. Bahkan ia rela menjadi teman diskusi di kantin FPBS (Sekarang FBS) kampus Ketintang. Ia tunjukan konsep puisi komunikatifnya.
”Menulis itu kalau mau dibikin rumit bisa rumit. Tetapi kalau mau dipermudah bisa dipermudah.” Rangkumku selama kami melakukan diskusi.
Dosen dan puisinya yang aku kagumi karena kebeningan bahasanya ini pun, rela menjadi ’editor’ cerpenku atau puisiku sebelum dikirim ke media massa. Namun kesibukannya sebagai dosen, tak membuat seluruh cerpenku yang aku kirim ke media massa lolos dari editorannya.
Namun aku punya cara yang unik untuk menjadi editor yang baik. Cerpen yang aku tulis, aku presentasikan kepada angin (audien imajiner).
Dalam malam yang sepi, aku selalu membaca cerpen-cerpenku  di sanggar Teater Institut. Aku membayangkan, cerpenku sedang disemak oleh banyak penonton yang berbeda latar belakang.
Hasilnya, aku merasakan pada bagian tertentu ada kalimat yang tidak nyambung dengan suasana yang tercipta. Kemudian, pada bagian yang lain aku juga menemukan, karakter yang aku ciptakan kurang impresif. Terlalu bertele-tele. Padahal, cerpen membutuhkan penjelasan yang sederhana, tetapi pas.
Karena akan dimuat di media massa aku juga harus memembatasi jumlah halaman. Dan karena itu, aku harus menulis cerpenku di atas kertas ukuran A4 spasi ganda, dengan huruf times news roman, tidak lebih dari 7 halaman.
Wah, begitulah, di penghujung tahun 1990-an aku telah banyak belajar menulis sampai tembus ke media massa. Bahkan tidak terasa, cerpen Laki-Laki Miskin, yang aku buat pertengahan tahun 1990-an, akhirnya bisa tembus Surabaya Post. (Sebuah media di Jawa Timur yang menjadi tolok ukur, kualitas sastra itu bisa dipertanggungjawabkan). Begitu juga tahun 2002, serpen Mimpi Jakarta, diterbitkan di Horison, satu-satunya majalah sastra nasional.
Tetapi harus aku akui, perjalanku sekian tahun itu, tak mudah untuk dilalui. Apalagi harus tembus majalah sastra Horison.
”Aku harus merasakan pahit getirnya, perjalanan naik kereta api ekonomi, menuju Jakarta. Dan merasakan betapa, Jakarta, bukanlah tempat yang aku idamkan.”
Dan sungguh, semua itu, berkat Laki-laki Miskin. Ia laki-laki yang memprotes ketidakadilan. Ketidak jujuran dalam hidup.  Ia memprotes, eksploitasi kemiskinan menjadi komodifikasi seni.
Pengalamanku sekian tahun itu, sebenarnya belum teruji benar. Tetapi aku tetap berpendirian, menulis itu (tidak) mudah. Dan tembus di media massa itu (tidak) mudah. Dari pertemuanku dengan sahabat-sahabat penulis, seperti Tjahjono Widijanto, Tengso Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Wawan Setiawan, Sariban, Shoim Anwar, Bonari Nabonenar, Leres Budi Santoso, Widodo Basuki, Riadi Ngasiran, W. Haryanto, Mashuri, Indra Tjahyadi, S. Yoga, S Jai, Ribut Wijoto, aku berkesimpulan sama bahwa harta pengarang adalah, membaca.
Karena itu tidak heran, bila berkunjung ke rumah sahabat-sahabatku itu, kamarnya atau rumahnya seperti pasar loak buku. Di rumahnya bertumpuk-tumpuk buku dan kertas-kertas (Sepertinya tulisan yang ditolak media massa, hi hi hi).
”Ditolak media massa itu biasa!”
”Pada mulanya memang kecewa,” kenang Simone de Beauvoir ketika naskah novelnya yang berjudul She Came to Stay ditolak.
Tetapi kemudian ia mengerti bahwa naskah yang baik belum tentu cepat diterbitkan, karena penerbit pada umumnya tidak melihat mutu suatu naskah. Melainkan hanya melihat pasar: apakah naskah yang diterbitkan itu laku dijual? Bila dianggap laku dijual, baru diterbitkan.  Dari kenyataan ini, ia mengajarkan kepada penulis muda bahwa untuk menerbitkan karya-karyanya tidaklah mudah.
Tetapi, setelah saya menjadi redaktur Seni Budaya di harian Surabaya Post (sejak November, 2008). Aku sependapat dengan Simone de Beauvoir : bahwa menulis itu tidak mudah, apalagi tembus di media massa.
Ini bukan berarti mematahkan semangat untuk berkarya. ”Berkarya itu penting. Soal diterbitkan itu dipikirkan nanti,” tegas Simone de Beauvoir.
Laki-laki miskin yang berkelebat di dekat mesin komputer, mengacungkan dua jempolnya.
”Ini tahun 2000-an, Bro...bukan tahun 90-an,” katanya.
Aku sadar. Aku membaca file cerpenku. Eh, semua berubah total. Apa yang terjadi?
”Politik sastra, campur aduk, menjadi politik redaksi, dan permintaan pasar?” kata Saut Situmorang, lantang.
”Memang begitu?” tanyaku gelagapan.
”Tanyalah pada dirimu yang sekarang sudah masuk dalam pusaran itu,” katanya.
Aku tak sempat membuka fileku yang lain. Tiba-tiba listrik mati. Aku telpon PLN : ”Pemadaman bergilir, Mas!” seorang petugas di seberang yang lain.
Apa mau dikata, sekarang aku tidak mengetik di mesin ketik, tetapi di laptop. Tulisanpun berhenti. Maka jangan protes, kalau cerita aku akhiri di sini.
Sementara, kelebat Laki-laki miskin, masih saja membayang di kegelapan. Dan tidak aku sadari, laki-laki itulah yang kini mengkhiri tulisanku.

Selamat menulis!!

Tidak ada komentar: