Esai R Giryadi
Mesin ketik tua, peninggalan bapak tak segera aku
jamah. Padahal kepala ini seperti sudah mau meledak, menumpahkan segala
imajinasi yang menyodok-nyodok ubun-ubun. Tetapi tangan ini seperti kelu,
ketika hendak memukul tut-tut mesin ketik. Sampai beberapa menit kemudian aku
tak beranjak dari tempat duduk.
Di mataku berkelebat, laki-laki tua dengan sorot
mata tanpa daya hidup. Di punggungnya seperti memanggul beban berat yang harus
diangkatnya ke puncak gunung. Tetapi batu itu menggelundung begitu saja. Dan
laki-laki itu kembali memanggulnya ke puncak gunung. Padahal, masih ada empat
batu yang belum diangkatnya?
Aku menghela napas. Sampai sedetik, dua detik, tiga
detik, bahkan satu jam. Tak satu katapun berkelebat dibenakku. Aku pejamkan
mata. Aku seruput kopi pahit. Aku hisap racun tembakau. Aku menyembah Dewa Ide.
“Emangnya gue pikirin,” kata Dewa Ide, mendengar jeritan hatiku.
”Buset, aku ketahuan!” keluhku pada teman yang
tiba-tiba hadir disampingku.
”Kalau otak lagi kosong mlompong, jangan paksa
menulis,” sergah temanku yang bertubuh kurus. (Mungkin lebih kurus dari aku).
”Membacalah. Membacalah. Memabacalah,” bisik temanku
yang lain, disebelah telinga kananku.
Temanku yang kurus, dan mengaku bernama Tjahjono Widijanto,
mengusiku dengan pidatonya yang panjang. Tetapi dari sekian pidatonya yang
panjang itu, hanya bisa saya hayati selarik kata-katanya. ‘Kapan saja saya bisa menulis, bila tergerak untuk
menulis. Soal tempat tidak masalah. Tentunya, kamar kerja saya yang paling
sreg!’ dan kata-kata
inipun ia kutip dari pengakuan seorang empu sastra penerima nobel 1991, Nadine
Gordimer.
Tetapi terus terang, di balik
pernyataannya yang sederhana itu, ada sesuatu yang tidak sederhana. Nadine
telah dibentuk karakternya oleh lingkungan yang kejam. Ia melihat penindasan
atas kulit hitam oleh kulit putih. Ia manusia pemakan buku yang serakah. ”Sejak kecil saya paling suka menghabiskan waktu saya di
perpustakaan. Bagi saya, perpustakaan itu tempat yang paling menyenangkan.”
Bagi Nadine Gordimer
perpustakaan adalah tempat memompa inspirasi sekaligus ‘mengembara’ dalam
samudra wawasan.
”Jadi menurutmu, kemauan saja
tidak cukup?” tanyaku, memotong monolognya.
Ia menganggukan kepala. Dan aku
percaya, padanya. Pada satu kesempatan aku sempat berkunjung ke rumah
teman-teman yang gila akan kata-kata. Dan survei membuktikan, di rumah mereka
memang (hanya) dipenuhi dengan buku-buku, kertas, koran, majalah, makalah,
kliping-kliping, dan lain sebagainya. Tidak ada yang lain. Kalau ada yang lain,
aku anggap sebagai keberuntungan saja.
”Ya, ya..aku percaya!” Tanganku
meraih kertas yang masih menggulung di rol mesin ketik. Aku menekan kait
pembebas rol. Tetapi kertas yang hendak aku tarik itu, seperti ada yang
menariknya kembali menggulung di rol mesin ketik.
Tiba-tiba ada sosok lain
melesat dari Rumah Kaca. Bersama yang empunya rumah, Pramoedya Ananta Toer, ada
sosok muda yang idealis, Minke, menghalauku untuk tidak mengurungkan niat,
membatalkan menulis. ”Sepandai apapun, jika kau tidak menulis, kau tidak akan
dikenal sejarah,” katanya kemudian.
”Tetapi aku mau membaca
buku-buku dulu.” elakku.
”Carilah kata-kata yang
menarik. Kemudian tuliskan,” kata Tonni Morrison yang muncul dari celah-celah
genting masa lalu. ”Bukankankah sejak kecil, kau sudah diajari orang tuamu,
’membaca’. Ia mendongeng dengan bahasa yang penuh imajinasi. Saya kira dongeng
adalah buku yang tidak akan pernah lapuk oleh zaman,” kata penulis novel Song of Solomon, yang pada tahun
1977 best-seller.
Tonni Morrison dikenal sebagai
‘pengarang puitis’. Barangkali ini dapat tercipta karena ia pemuja bahasa.
Baginya, penggunaan bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi tetapi juga
dianggapnya sebagai sumber seni sastra dan peradaban.
Tonni mengaku termasuk
pengarang yang ‘lamban’ karena sebelum menulis mematangkan konsep lebih dahulu.
Ia mengaku hanya bisa menulis pada pagi hari dan akan sulit menulis setelah ia
bekerja sepanjang hari, misalnya mengajar. Baginya, menulis benar-benar
memerlukan konsentrasi.
Demi kehati-hatian itu, Tonni
menulis ceritanya dengan pensil. Jika tidak ada pensil, ia menuliskannya dengan
bolpoin. Setelah semuanya selesai, barulah ia menulisnya di mesin ketik. Hal
yang sama juga dilakukan oleh sahabatku, Ratna Indriaswari Ibrahim. Belakangan
aku menyadari, hal yang sama telah aku lalukan.
Tonni mengaku, memperoleh
gagasan karya-karyanya dari ‘rasa sentitifnya’ pada suatu masalah. Ia berempati
dengan apa yang dilihatnya, khususnya yang menyangkut kehidupan perempuan. Maka
karya-karyanya pun bicara tentang perjalanan hidup dan nasib perempuan, seperti
yang jelas tersirat dalam Sula dan Beloved.
Lalu apakah aku punya
sensifitas. Lebih tepatnya, apa titik kegelisahanku untuk aku tuliskan? Apakah
dengan tanpa sensifitas, aku tidak bisa menulis? Dari situ aku menyadari,
dibalik kata-kata menulis itu mudah,
ternyata membawa konsekwensi tidak mudah juga.
”Ini untuk mendorong agar kita
mau menulis. Bagaimana kamu bisa mengaktualisasikan ilmumu kalau tidak
menulis,” kata Minke.
”Kita harus membangun tradisi
membaca. Paling tidak, dari lingkungan diri sendiri,” kataku.
”Ya, ya..para penulis besar
dunia, rata-rata pembaca yang baik. Mereka sedari kecil sudah dihadapkan pada
buku-buku. Mereka sudah punya perpustakaan pribadi,” kata Toeti Heraty, sembari
membuka-buka buku, Hidup Matinya Sang Pengarang (2000).
Tidak kalah pentingnya, adalah
pengalaman hidup. Para penulis besar, seperti Nadine Gordimer, Tonni Morrison,
Virginia Woolf, Gunter Gress, Naguib Mahfoudz, Pramoedya Ananta Toer, Budi
Darma, Ahmad Tohari, Danarto, adalah pribadi yang terasah dan memiliki
pengalaman hidup yang banyak.
”Penulis perlu punya
sensisitifitas. Kalau tidak sensitif, bagaimana kamu bisa terangsang menulis?” kata
temanku yang lain.
Sedetik dari kelebatan kata
temanku itu, aku teringat dengan seorang laki-laki dengan sorot mata tanpa daya
hidup. Siapa dia? Melihat sosoknya aku sangat mengenalinya. Tidak tahu, mengapa
aku kesulitan menyebut namanya. Padahal, dari gerak-geriknya, aku bisa merasakan. Itu adalah gerak-gerik diriku.
Apakah laki-laki itu diriku?
Tidak tahu. Setiap kali akan
menulis. Laki-laki itu berkelebat di benakku. Aku sering mengejawantahkan ia
adalah aku. Tetapi aku tidak pernah berhasil menyebut namanya. Tetapi aku punya
sebutan favorit : Laki-laki miskin.
Mungkin laki-laki miskin itu
adalah aku. Atau aku adalah laki-laki miskin. Karena itu aku tidak heran, kalau
dorongan menulis karena ’kemiskinanku.’ Aku mengambil pensil atau bolpoin, dan
kertas bergaris, atau kertas cd. Kemudian menuliskannya dengan seksama, apa
yang ada dalam benakku. Tak terasa aku telah menulis cerita pendek, judulnya
Laki-Laki Miskin.
Tulisan pertamaku itu aku
tunjukan ke temanku, yang sejak dini sudah menjadi pemakan buku, dan penulis
puisi yang baik.
”Kirim saja ke media massa!”
katanya, seperti mengisyaratkan menulis
di media massa itu gampang.
”Belum aku ketik. Lagian saya
ndak punya biodata penulisan,” sahutku.
”Yang penting kamu ketik dulu.
Kalau sudah selesai kirim ke media massa,” tegas temanku, seolah-olah cerpenku
sudah layak muat (bukan, muak!).
Pertengahan tahun 90-an,
temanku sang penyair ini, memang rajanya media. Hampir setiap bulan, tulisannya muncul di media massa baik lokal
maupun nasional. Tak jarang, tulisnya dimuat di media massa negeri seberang.
Pada era itu, ia tergolong penyair yang sangat produktif.
Sementara aku yang seusia
dengan dia, masih belajar menulis cerpen.
”Terlambat!” sergahku.
”Tidak ada kata terlambat.
Pokoknya tulis saja, kemudian kirim,” katanya suatu kali, di kamar kostnya yang
kecil dan pengap, karena banyak buku, koran berserakan di lantai kamar.
Ya sudah aku menurut. Pekerjaan
pertama adalah mengetik, cerita pendekku.
”Masya’Allah, untuk mengetik
ulang saja, ternyata begitu sulit. Aku harus bergelut dengan diriku sendiri.
Setiap kali menekan tut untuk mengetik kalimat yang aku tulis di kertas
bergaris, yang muncul malah kalimat-kalimat lain, yang terkadang bertentangan!”
kataku, suatu ketika, di warung nasi pecel Madiun, ujung Jl. Gede, Malang.
”Kata Muhammad Diponegoro, itu
bagian dari editing. Lanjutkan ... (Sssst...ini bukan kampanye),” katanya,
sembari menyeruput kopi pahit.
Editing? Wow..seperti kata-kata
yang baru aku kenal. Editing. Maka ku cari buku Mohammad Diponegoro. Betul
juga, sebelum tulisan dikirim, ada baiknya melalui proses editing. Dan ketika
aku melakukan pengetikan ulang, secara tidak langsung telah melakukan editing.
”Leo Tolstoy, menulis ulang
novelnya Perang dan Damai sampai tujuh kali. Dan ia menulis dengan pena, bukan
mesin tik,” bisik Muhammad Diponegoro, sembari menenteng bukunya, Yuk, Menulis Cerpen (cetakan
pertama,1985).
Apa yang dibisikan Muhammad
Diponegoro itu seperti membangkitkan kepercayaanku untuk nekat mengetik ulang
cerita pendekku. Hasilnya, tidak puas. Ketik ulang, tidak puas lagi. Ketik
ulang lagi, tidak puas lagi. Stoooopppp!
”Mengapa begitu sulit,
menyelesaikan satu cerpen saja. Dua tahun telah belalu. Mengapa begitu sulit,
haruskah aku sudahi saja, keinginanku menulis dan mengirimkan ke media massa,”
kataku.
”Ndi se cerpenmu, tak wacane?” kata Tengsoe Tjahjono, yang menerobos
pintu pesimistisku. Ia kemudian memotifasiku untuk terus menulis. Bahkan ia
rela menjadi teman diskusi di kantin FPBS (Sekarang FBS) kampus Ketintang. Ia
tunjukan konsep puisi komunikatifnya.
”Menulis itu kalau mau dibikin
rumit bisa rumit. Tetapi kalau mau dipermudah bisa dipermudah.” Rangkumku
selama kami melakukan diskusi.
Dosen dan puisinya yang aku
kagumi karena kebeningan bahasanya ini pun, rela menjadi ’editor’ cerpenku atau
puisiku sebelum dikirim ke media massa. Namun kesibukannya sebagai dosen, tak
membuat seluruh cerpenku yang aku kirim ke media massa lolos dari editorannya.
Namun aku punya cara yang unik
untuk menjadi editor yang baik. Cerpen yang aku tulis, aku presentasikan kepada
angin (audien imajiner).
Dalam malam yang sepi, aku
selalu membaca cerpen-cerpenku di
sanggar Teater Institut. Aku membayangkan, cerpenku sedang disemak oleh banyak
penonton yang berbeda latar belakang.
Hasilnya, aku merasakan pada
bagian tertentu ada kalimat yang tidak nyambung dengan suasana yang tercipta.
Kemudian, pada bagian yang lain aku juga menemukan, karakter yang aku ciptakan
kurang impresif. Terlalu bertele-tele. Padahal, cerpen membutuhkan penjelasan
yang sederhana, tetapi pas.
Karena akan dimuat di media
massa aku juga harus memembatasi jumlah halaman. Dan karena itu, aku harus
menulis cerpenku di atas kertas ukuran A4 spasi ganda, dengan huruf times news
roman, tidak lebih dari 7 halaman.
Wah, begitulah, di penghujung
tahun 1990-an aku telah banyak belajar menulis sampai tembus ke media massa.
Bahkan tidak terasa, cerpen Laki-Laki Miskin, yang aku buat pertengahan tahun
1990-an, akhirnya bisa tembus Surabaya Post. (Sebuah media di Jawa Timur yang
menjadi tolok ukur, kualitas sastra itu bisa dipertanggungjawabkan). Begitu
juga tahun 2002, serpen Mimpi Jakarta, diterbitkan di Horison, satu-satunya
majalah sastra nasional.
Tetapi harus aku akui,
perjalanku sekian tahun itu, tak mudah untuk dilalui. Apalagi harus tembus
majalah sastra Horison.
”Aku harus merasakan pahit
getirnya, perjalanan naik kereta api ekonomi, menuju Jakarta. Dan merasakan
betapa, Jakarta, bukanlah tempat yang aku idamkan.”
Dan sungguh, semua itu, berkat
Laki-laki Miskin. Ia laki-laki yang memprotes ketidakadilan. Ketidak jujuran
dalam hidup. Ia memprotes, eksploitasi
kemiskinan menjadi komodifikasi seni.
Pengalamanku sekian tahun itu,
sebenarnya belum teruji benar. Tetapi aku tetap berpendirian, menulis itu
(tidak) mudah. Dan tembus di media massa itu (tidak) mudah. Dari pertemuanku
dengan sahabat-sahabat penulis, seperti Tjahjono Widijanto, Tengso Tjahjono,
Tjahjono Widarmanto, Wawan Setiawan, Sariban, Shoim Anwar, Bonari Nabonenar,
Leres Budi Santoso, Widodo Basuki, Riadi Ngasiran, W. Haryanto, Mashuri, Indra
Tjahyadi, S. Yoga, S Jai, Ribut Wijoto, aku berkesimpulan sama bahwa harta pengarang
adalah, membaca.
Karena itu tidak heran, bila
berkunjung ke rumah sahabat-sahabatku itu, kamarnya atau rumahnya seperti pasar
loak buku. Di rumahnya bertumpuk-tumpuk buku dan kertas-kertas (Sepertinya
tulisan yang ditolak media massa, hi hi hi).
”Ditolak media massa itu
biasa!”
”Pada mulanya memang kecewa,”
kenang Simone de Beauvoir ketika naskah novelnya yang berjudul She Came to Stay ditolak.
Tetapi kemudian ia mengerti
bahwa naskah yang baik belum tentu cepat diterbitkan, karena penerbit pada umumnya
tidak melihat mutu suatu naskah. Melainkan hanya melihat pasar: apakah naskah
yang diterbitkan itu laku dijual? Bila dianggap laku dijual, baru diterbitkan. Dari kenyataan ini, ia mengajarkan kepada
penulis muda bahwa untuk menerbitkan karya-karyanya tidaklah mudah.
Tetapi, setelah saya menjadi
redaktur Seni Budaya di harian Surabaya Post (sejak November, 2008). Aku
sependapat dengan Simone de Beauvoir : bahwa menulis itu tidak mudah, apalagi
tembus di media massa.
Ini bukan berarti mematahkan
semangat untuk berkarya. ”Berkarya itu penting. Soal diterbitkan itu dipikirkan
nanti,” tegas Simone de Beauvoir.
Laki-laki miskin yang
berkelebat di dekat mesin komputer, mengacungkan dua jempolnya.
”Ini tahun 2000-an, Bro...bukan
tahun 90-an,” katanya.
Aku sadar. Aku membaca file
cerpenku. Eh, semua berubah total. Apa yang terjadi?
”Politik sastra, campur aduk,
menjadi politik redaksi, dan permintaan pasar?” kata Saut Situmorang, lantang.
”Memang begitu?” tanyaku
gelagapan.
”Tanyalah pada dirimu yang
sekarang sudah masuk dalam pusaran itu,” katanya.
Aku tak sempat membuka fileku
yang lain. Tiba-tiba listrik mati. Aku telpon PLN : ”Pemadaman bergilir, Mas!”
seorang petugas di seberang yang lain.
Apa mau dikata, sekarang aku
tidak mengetik di mesin ketik, tetapi di laptop. Tulisanpun berhenti. Maka
jangan protes, kalau cerita aku akhiri di sini.
Sementara, kelebat Laki-laki
miskin, masih saja membayang di kegelapan. Dan tidak aku sadari, laki-laki
itulah yang kini mengkhiri tulisanku.
Selamat menulis!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar