Mendung
Bulan Juni
aku
mengerti, kau akan kembali
pada
laki-laki yang memanggul mendung
menebar
hujan
menebar
halilintar
kau
menunggu pada jendela
yang
tak utuh lagi kacanya
kau
dengar teriakan anak-anak
tapi
hatimu menunggu
puisi itu memberimu kabar
dia telah pergi
meninggalkan secangkir kopi
dan seseduh luka
dia menuliskan pesan
dekat wajahmu yang lebam
secarik kertas lusuh
bertuliskan: *****
aku mengerti, kau akan kembali
pada laki-laki
pada mendung
pada hujan yang memberimu benih harapan
Sidoarjo, 2012
Gerhana
Bulan Juni
--jangan
kamu kira bulan ndadari
pertanda
malam bakal turun bidadari
aku
disini menunggu
bidadari
di pinggir sepi
: tak ada selendang
pada
juni
bulan
hilang dari pandang
wajahnya
pada telaga
tenang dan meremang
:tak ada kunang-kunang
pada juni
bulan hilang
pada bintang
aku berdendang
:bulan-bulan ndadari
menunggu bidadari
berselendang api
api bulan juni
juni yang sepi
bulan sendiri.
Sidoarjo, 2012
Luka
Bulan Juni
juni
yang malas bergerak
angin
tak menyalak
hanya
derai harapan
menggapai-gapai
pada
pucuk senja
senja
yang kau tinggalkan
dengan
pintu tertutup
juni yang malas bergerak
tak ada sisa hujan
lumut lumut keperakan
ada bekas goresan
luka lama
luka kemarau lalu
meski tak pedih
bersembilu
tak ada sisa hujan
lumut lumut keperakan
ada bekas goresan
luka lama
luka kemarau lalu
meski tak pedih
bersembilu
Sidoarjo, 2012
Puisi
untuk Juni
kamu bersembunyi pada sisa sore
menelikung antara bulan merah
memeriahkan kelam pada segelas kopi
sisa peraduan masa silam
pahit dan manis
kini...
malam yang merindukan kembang-kembang
tertata rapi di halaman belakang
pada taman rahasia itu
kalian menorehkan
kata: rindu
kini...
tak ada sisa sore yang berarti
menelikung antara bulan merah
memeriahkan kelam pada segelas kopi
sisa peraduan masa silam
pahit dan manis
kini...
malam yang merindukan kembang-kembang
tertata rapi di halaman belakang
pada taman rahasia itu
kalian menorehkan
kata: rindu
kini...
tak ada sisa sore yang berarti
Sidoarjo, 2012
Kemarau
Bulan Juni
pada juni yang kemarau ini
tak ada jamur kuping
yang tertidur pulas di batang pohon
menunggu sore bersama nonggeret
meminta juni
meminta sapardi
bertuah tentang hujan bulan juni
atau pada afrizal
menanam beton-beton hujan
menjadi arsitektur
hujan, pada juni yang kemarau ini
tak ada jamur kuping
yang tertidur pulas di batang pohon
menunggu sore bersama nonggeret
meminta juni
meminta sapardi
bertuah tentang hujan bulan juni
atau pada afrizal
menanam beton-beton hujan
menjadi arsitektur
hujan, pada juni yang kemarau ini
Sidoarjo, 2012
Sketsa Hujan (1)
dan hujan ini telah
menghapus 1000 tahun kemarau
mendewasakan burung-burung
yang lari dari sarangnya
meninggalkan ranting getas
tempat sejuta harap
direrajut rumput kering.
dan hujan ini menutup senja
tanpa cakrawala.
Sidoarjo,
2011
Sketsa Hujan (2)
akan kemanakah kau?
sementara mendung
merayap-rayap membawa kabar duka.
duka yang membara dari hati
yang buta.
mampukah engkau, hujan kali
ini membawa air bah.
air yang digerojokan oleh
amarah.
fitnah. dan sumpah serapah.
akan kemanakah kau?
sudahkah membawa payung, jas
hujan, atau rapal doa?
jangan lagi hujan
merajam-rajam tubuhmu.
Sidoarjo,
2011
Sketsa Hujan (3)
orang-orang berlarian
bertudung daun talas
menghilang di tikungan
hujan menderas
kemanakah mereka?
ke rumah
atau
pada sawah ladang
yang tergenang
kemanakah mereka?
tak ada sisa harapan
selain suara gemuruh
di ujung peraduan
Sidoarjo, 2011
Sketsa
Hujan (4)
*Sebuah Kenangan Disuatu Sore
derit kereta bersetimpal deras hujan
ada luka menganga
kambing mengembik
bebatuan berdarah
seorang laki-laki
wajahnya memucat
dirajam kereta
dirajam hujan
dirajam sore
demi kambing-kambingnya
demi rerumputan
derit kereta bersetimpal deras hujan
meninggalkan duka
Sidoarjo, 2011
Sketsa
Hujan (5)
seharusnya kita tahu
hujan bukanlah air
yang menderas
dari langit
seharusnya kita tahu
hujan tak selamanya
bermula dari mendung
seharusnya kita tahu
hujan pagi ini, hujan dari matamu
seharusnya kita tahu
ada mendung mengambang
di kening duka
seharusnya kita tahu
hujan hari ini
hujan rindu
Sidoarjo, 2011
Sketsa Hujan (6)
*Buat
Go Lan Fang
sebelum
kau pergi
biarkan
hujan sore ini mereda
tuliskan
sebait pesan
pada
dinding
pada
lumut
atau
pada
hatimu
yang mengeras.
sebelum
kau pergi
biarkan
hujan sore ini mereda
setelah
itu
biarkan
aku rela melepasmu
meski
tapa pesan
tanpa
hujan
tanpa
rinai kudus
di
sore ini
kau
kirim pesan
tentang
luka itu
yang
masih menganga
meski
hujan
diguncang-guncang
laju
jalan
menuju
keharibaan
maha
duka
Sidoarjo,
Desember 2011
Sketsa Hujan (7)
mampukah
kau menyingkap hujan
kalau
matamu bermendung
pergilah
dengan mata membara
tanggalkan
seluruh masalalumu
biarkan
hujan membanjir
masa
depan basah kuyup
petir
membakar
kerinduan
yang mengendap
di
bawah daun pisang
aku
berlari
meski
jalanan becek
penuh
guguran air
dan
kabut
membentang
seperti tembok baja
aku
mati
di
bawah tombak-tombak hujan
:masihkah
kau merindukan hujan?
Sidoarjo,
Januari 2011
Retorika Hujan 1
apakah
kau masih bisa menjawab pertanyaanku, tentang halilintar, yang menghantar bumi
bergetar, dan orang-orang berlarian sembari berteriak hore, hore, hore, kini
kita bisa sampai pada mendung, mari kita cangkul sawah kita. kita jadikan tanah
ini menjadi daun-daun, meski darah daging yang merumahi tulang belulang kita,
mencucurkan air mata.
tik
tak tik tak
mari
berlari menyambut dewa zeus, menumpahkan amarahnya. ambilah galah. hunjamkan ke
arak mendung yang mendengus hitam, agar gelambir perutnya yang buncit, serupa
kerbau itu mengempis, mengembiklah, karena sawah ladang kita masih tumbuh
gulma. hujan amarah, menidurkan dewi sri ibu dari butir-butir padi.
tik
tak tik tak
cangkul
yang dalam, tak jemu-jemu
sawah
ladang kita kikis habis. bentangan baja ini dan beton-beton ini menjadi gulma
tanah kita. gunung-gunung serupa kenangan masa kecil, dalam sesobek kertas
putih, dan kemudian kita memberinya warna-warna biru laut, atau merah jingga,
dan garis-garis petak sawah yang membentang ke cakrawala dengan warna hitam.
tik
tak tik tak
hujan.
kenangan itu kini hanya menjadi tulisan-tulisan hitam dalam bentangan koran
pagi hari. kita membacanya sembari mendengar tik tak hujan yang turun dekat
dengan atap gedung kita yang berdiri di atas ladang kita sendiri.
hujan,
mari kita saling bertanya, mengapa kita tak lagi saling menyapa?
Sidoarjo
2010
Retorika Hujan 2
kepada
hujan yang belum mengerti aku, yang duduk termenung di antara langit hijau,
antara pematang yang malas melihat angin, bertubi-tubi seperti desah harapan
yang tak kunjung sampai, meski cakrawala terlihat dengan garis hitam, sisa
kenangan dari bara api di kepalanya.
seperti
bayang-bayang kabut, turun dari ranjang, sebelum jam waker berteriak, tentang
kota seribu labirin, orang-orang bertudung koran, atau payung hitam, entah
kemana, karena tampias hujan, samar-samar memberi bayangan, serupa embun,
kemudian menghilang.
kepada
hujan yang menderas pagi hari, kota beralas harapan, berdiri tegak tak jauh
dari gumpalan awan, dan halilintar, mata anak-anak serupa bulan, hanya mengigau
di depan televisi, telanjang dada, tertidur dengan alas buku dengan mimpi yang
diciptakan dari harapan-harapan, tentang hujan yang tak lagi reda, sebelum
dirinya terjaga.
kepada
hujan yang menggenangi mata, kepada air mata yang menghujani pagi hari,
rindukah kau pada kota lumut, membentang, dengan jamur berhias manik-manik,
atau dengan duka yang berhias bahagia, dan rindukah kau pada deru kereta sore
hari, seorang lelaki terkapar di pinggir rel berselimut daun pisang, kambing
mengembik-embik, meratapi sore yang penuh warna merah.
kepada
hujan, yang pagi ini menggenangi kotaku, kepada air mata yang pagi hari ini
menghujani selimut tidurku, bukalah jendela, gambarlah gunung dan matahari, dan
kemudian terbanglah dengan sayap daun talasmu.
kepada
hujan yang belum mengerti aku, telah ku kirim surat kepadamu, jauh hari sebelum
pagi ini hujan di kotaku terasa kelu.
kepada
hujan, mungkinkah aku salah alamat?
Surabaya,
2010
Retorika Hujan 3
hujan
jangan kau runtuhkan gunung kesebaranku.
aku
masih mencintai ilalang dan aroma ledus hutan.
merawat
ilalang yang beribukan bulan dan bintang-bintang kecil, jauh di langit gelap.
Surabaya,
2011
Retorika Hujan 4
kepadamu
hujan yang kupuja pada hening malam, pejamkan matamu, biarkan aku kirim kau
mimpi tentang merpati yang sedang bersidekur membaca malam.
biarkan aku kirim mimpi ini agar tidurmu terjaga pada perempat malam nanti, sayap-sayap yang kita rajut dari huruf-huruf menjelma kata.
kepadamu hujan yang kupuja pada hening malam, pejamkan matamu, sebelum subuh luruh mengeja fana.
Surabaya,
2011
Retorika Hujan 5
mendung,
adakah di balik tiraimu yang kelam itu menyimpan rahasia. pagi ini adalah awal
perjalanan. tetapi matahari sirna. hanya tetes air dari wajah langit yang
muram. apakah dia menangis? jalanan ini basah, merendam kenangan masa lalu.
mendung
bukalah hatimu.
mendung
menebal bergelayut menunggu waktu.cakrawala disana tergores tipis, mengabarkan
luka. luka yang terbakar cahaya. cahaya yang menggeletar dari masa silam.
tetapi dimana matahari? laut lepas tempat kita mengaduh, surut ke haribaan maut.
tetapi dimana matahari? laut lepas tempat kita mengaduh, surut ke haribaan maut.
Surabaya,
2011
Retorika Hujan 6
hujan
sebentar lagi reda. halilitar masih berpilin-pilin di angkasa. aku harus
bergegas. dua jalan becek membentang dan berkabut. aku harus memilihnya.
seandainya
matahari bisa ku keluh, hujan tak akan runtuh. jalanan nan bencek dan berkabut
tempat aku berpeluh.
aku
gentar dengan kabut. jalan itu serupa siluet. orang-orang berlari dan hilang.
matahari masih dibekap mendung.
senja
telah meremang, bayang bayang hujan menyisakan kerinduanku pada rumah. rumah
dengan perabot lumut dan jamur barat, kunang-kunang dengan bokong berpijar.
nyaliku ciut mengenang duka yang mengeras.duka kepompong yang tak jadi kupu-kupu, hujanku semakin membeku.
hujan
itu serupa tangis dewi amba yang mengiba-iba pada bisma. aku terkesima. deras
hujan sore itu menjadi anak panah yang menghunjami bisma rebah ke bumi.
'aku belum mati!' keluhnya pada matahari yang pelan-pelan menampakan wajahnya.
tetapi, apakah hujan akan berhenti? dewi amba membayang pada binar matanya yang meredup.
pelangi
mewarna di keningnya bersama gerimis yang perlahan memeramkan api dewi amba.
api yang berasap kesucian. api yang dinyalakan oleh murka.
biarlah hujan tak berlalu. air yang menggenang merah sisa rerintihan bisma adalah air cinta dewi amba. aku ingin menapakinya, meski matahari perlahan-lahan meninggalkan kurusetra.
biarlah hujan tak berlalu, memilin-milin harapan, meski jalan becek berselimut kabut.
cahaya
segemilau apa, ketika arak mendung, dan rinai hujan, masih saja menghiasi wajah
pada langit senja?
masihkah
kita punya harapan. matahari masih dibuai kabut. dipinggir hujan ini, kita
merebahkan harapan. menunggui cahaya. cahaya kita sendiri.
Surabaya,
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar