Senin, 25 Juni 2012

Puisi tentang hujan


Puisi R Giryadi

Mendung Bulan Juni
aku mengerti, kau akan kembali
pada laki-laki yang memanggul mendung
menebar hujan
menebar halilintar

kau menunggu pada jendela
yang tak utuh lagi kacanya
kau dengar teriakan anak-anak
tapi hatimu menunggu

puisi itu memberimu kabar
dia telah pergi
meninggalkan secangkir kopi
dan seseduh luka

dia menuliskan pesan
dekat wajahmu yang lebam
secarik kertas lusuh
bertuliskan: *****

aku mengerti, kau akan kembali
pada laki-laki
pada mendung
pada hujan yang memberimu benih harapan

Sidoarjo, 2012


Gerhana Bulan Juni
--jangan kamu kira bulan ndadari
pertanda malam bakal turun bidadari
aku disini menunggu
bidadari di pinggir sepi

: tak ada selendang
pada juni
bulan hilang dari pandang
wajahnya pada telaga
tenang dan meremang

:tak ada kunang-kunang
pada juni
bulan hilang
pada bintang
aku berdendang

:bulan-bulan ndadari
menunggu bidadari
berselendang api
api bulan juni
juni yang sepi
bulan sendiri.

Sidoarjo, 2012

Luka Bulan Juni
juni yang malas bergerak
angin tak menyalak
hanya derai harapan
menggapai-gapai
pada pucuk senja
senja yang kau tinggalkan
dengan pintu tertutup

juni yang malas bergerak
tak ada sisa hujan
lumut lumut keperakan
ada bekas goresan
luka lama
luka kemarau lalu
meski tak pedih
bersembilu

Sidoarjo, 2012

Puisi untuk Juni
kamu bersembunyi pada sisa sore
menelikung antara bulan merah
memeriahkan kelam pada segelas kopi
sisa peraduan masa silam
pahit dan manis
kini...
malam yang merindukan kembang-kembang
tertata rapi di halaman belakang
pada taman rahasia itu
kalian menorehkan
kata: rindu
kini...
tak ada sisa sore yang berarti

Sidoarjo, 2012

Kemarau Bulan Juni
pada juni yang kemarau ini
tak ada jamur kuping
yang tertidur pulas di batang pohon
menunggu sore bersama nonggeret
meminta juni
meminta sapardi
bertuah tentang hujan bulan juni
atau pada afrizal
menanam beton-beton hujan
menjadi arsitektur
hujan, pada juni yang kemarau ini

Sidoarjo, 2012
Sketsa Hujan (1)
dan hujan ini telah menghapus 1000 tahun kemarau
mendewasakan burung-burung yang lari dari sarangnya
meninggalkan ranting getas
tempat sejuta harap direrajut rumput kering.
dan hujan ini menutup senja tanpa cakrawala. 

Sidoarjo, 2011

Sketsa Hujan (2)
akan kemanakah kau?
sementara mendung merayap-rayap membawa kabar duka.
duka yang membara dari hati yang buta.
mampukah engkau, hujan kali ini membawa air bah.
air yang digerojokan oleh amarah.
fitnah. dan sumpah serapah.
akan kemanakah kau?
sudahkah membawa payung, jas hujan, atau rapal doa?
jangan lagi hujan merajam-rajam tubuhmu.

Sidoarjo, 2011

Sketsa Hujan (3)
orang-orang berlarian
bertudung daun talas
menghilang di tikungan
hujan menderas
kemanakah mereka?
ke rumah
atau
pada sawah ladang
yang tergenang
kemanakah mereka?
tak ada sisa harapan
selain suara gemuruh
di ujung peraduan

Sidoarjo, 2011

Sketsa Hujan (4)
*Sebuah Kenangan Disuatu Sore

derit kereta bersetimpal deras hujan
ada luka menganga
kambing mengembik
bebatuan berdarah
seorang laki-laki
wajahnya memucat
dirajam kereta
dirajam hujan
dirajam sore
demi kambing-kambingnya
demi rerumputan
derit kereta bersetimpal deras hujan
meninggalkan duka

Sidoarjo, 2011

Sketsa Hujan (5)

seharusnya kita tahu
hujan bukanlah air
yang menderas
dari langit

seharusnya kita tahu
hujan tak selamanya
bermula dari mendung

seharusnya kita tahu
hujan pagi ini, hujan dari matamu

seharusnya kita tahu
ada mendung mengambang
di kening duka

seharusnya kita tahu
hujan hari ini
hujan rindu

Sidoarjo, 2011


Sketsa Hujan (6)
*Buat Go Lan Fang

sebelum kau pergi
biarkan hujan sore ini mereda
tuliskan sebait pesan
pada dinding
pada lumut
atau pada
hatimu yang mengeras.

sebelum kau pergi
biarkan hujan sore ini mereda
setelah itu
biarkan aku rela melepasmu
meski tapa pesan
tanpa hujan
tanpa rinai kudus

di sore ini
kau kirim pesan
tentang luka itu
yang masih menganga
meski hujan
diguncang-guncang
laju jalan
menuju keharibaan
maha duka

Sidoarjo, Desember 2011

Sketsa Hujan (7)

mampukah kau menyingkap hujan
kalau matamu bermendung
pergilah dengan mata membara
tanggalkan seluruh masalalumu
biarkan hujan membanjir
masa depan basah kuyup
petir membakar
kerinduan yang mengendap
di bawah daun pisang
aku berlari
meski jalanan becek
penuh guguran air
dan kabut
membentang seperti tembok baja
aku mati
di bawah tombak-tombak hujan
:masihkah kau merindukan hujan?

Sidoarjo, Januari 2011


Retorika Hujan 1

apakah kau masih bisa menjawab pertanyaanku, tentang halilintar, yang menghantar bumi bergetar, dan orang-orang berlarian sembari berteriak hore, hore, hore, kini kita bisa sampai pada mendung, mari kita cangkul sawah kita. kita jadikan tanah ini menjadi daun-daun, meski darah daging yang merumahi tulang belulang kita, mencucurkan air mata.

tik tak tik tak

mari berlari menyambut dewa zeus, menumpahkan amarahnya. ambilah galah. hunjamkan ke arak mendung yang mendengus hitam, agar gelambir perutnya yang buncit, serupa kerbau itu mengempis, mengembiklah, karena sawah ladang kita masih tumbuh gulma. hujan amarah, menidurkan dewi sri ibu dari butir-butir padi.

tik tak tik tak

cangkul yang dalam, tak jemu-jemu
sawah ladang kita kikis habis. bentangan baja ini dan beton-beton ini menjadi gulma tanah kita. gunung-gunung serupa kenangan masa kecil, dalam sesobek kertas putih, dan kemudian kita memberinya warna-warna biru laut, atau merah jingga, dan garis-garis petak sawah yang membentang ke cakrawala dengan warna hitam.

tik tak tik tak

hujan. kenangan itu kini hanya menjadi tulisan-tulisan hitam dalam bentangan koran pagi hari. kita membacanya sembari mendengar tik tak hujan yang turun dekat dengan atap gedung kita yang berdiri di atas ladang kita sendiri.

hujan, mari kita saling bertanya, mengapa kita tak lagi saling menyapa?

Sidoarjo 2010


Retorika Hujan 2

kepada hujan yang belum mengerti aku, yang duduk termenung di antara langit hijau, antara pematang yang malas melihat angin, bertubi-tubi seperti desah harapan yang tak kunjung sampai, meski cakrawala terlihat dengan garis hitam, sisa kenangan dari bara api di kepalanya.

seperti bayang-bayang kabut, turun dari ranjang, sebelum jam waker berteriak, tentang kota seribu labirin, orang-orang bertudung koran, atau payung hitam, entah kemana, karena tampias hujan, samar-samar memberi bayangan, serupa embun, kemudian menghilang.

kepada hujan yang menderas pagi hari, kota beralas harapan, berdiri tegak tak jauh dari gumpalan awan, dan halilintar, mata anak-anak serupa bulan, hanya mengigau di depan televisi, telanjang dada, tertidur dengan alas buku dengan mimpi yang diciptakan dari harapan-harapan, tentang hujan yang tak lagi reda, sebelum dirinya terjaga.

kepada hujan yang menggenangi mata, kepada air mata yang menghujani pagi hari, rindukah kau pada kota lumut, membentang, dengan jamur berhias manik-manik, atau dengan duka yang berhias bahagia, dan rindukah kau pada deru kereta sore hari, seorang lelaki terkapar di pinggir rel berselimut daun pisang, kambing mengembik-embik, meratapi sore yang penuh warna merah.

kepada hujan, yang pagi ini menggenangi kotaku, kepada air mata yang pagi hari ini menghujani selimut tidurku, bukalah jendela, gambarlah gunung dan matahari, dan kemudian terbanglah dengan sayap daun talasmu.

kepada hujan yang belum mengerti aku, telah ku kirim surat kepadamu, jauh hari sebelum pagi ini hujan di kotaku terasa kelu.

kepada hujan, mungkinkah aku salah alamat?

Surabaya, 2010

Retorika Hujan 3

hujan jangan kau runtuhkan gunung kesebaranku.
aku masih mencintai ilalang dan aroma ledus hutan.
merawat ilalang yang beribukan bulan dan bintang-bintang kecil, jauh di langit gelap.

Surabaya, 2011

Retorika Hujan 4

kepadamu hujan yang kupuja pada hening malam, pejamkan matamu, biarkan aku kirim kau mimpi tentang merpati yang sedang bersidekur membaca malam.

biarkan aku kirim mimpi ini agar tidurmu terjaga pada perempat malam nanti, sayap-sayap yang kita rajut dari huruf-huruf menjelma kata.

kepadamu hujan yang kupuja pada hening malam, pejamkan matamu, sebelum subuh luruh mengeja fana.

Surabaya, 2011

Retorika Hujan 5

mendung, adakah di balik tiraimu yang kelam itu menyimpan rahasia. pagi ini adalah awal perjalanan. tetapi matahari sirna. hanya tetes air dari wajah langit yang muram. apakah dia menangis? jalanan ini basah, merendam kenangan masa lalu.
mendung bukalah hatimu.
mendung menebal bergelayut menunggu waktu.cakrawala disana tergores tipis, mengabarkan luka. luka yang terbakar cahaya. cahaya yang menggeletar dari masa silam.
tetapi dimana matahari? laut lepas tempat kita mengaduh, surut ke haribaan maut.

Surabaya, 2011

Retorika Hujan 6

hujan sebentar lagi reda. halilitar masih berpilin-pilin di angkasa. aku harus bergegas. dua jalan becek membentang dan berkabut. aku harus memilihnya.

seandainya matahari bisa ku keluh, hujan tak akan runtuh. jalanan nan bencek dan berkabut tempat aku berpeluh.

aku gentar dengan kabut. jalan itu serupa siluet. orang-orang berlari dan hilang. matahari masih dibekap mendung.

senja telah meremang, bayang bayang hujan menyisakan kerinduanku pada rumah. rumah dengan perabot lumut dan jamur barat, kunang-kunang dengan bokong berpijar.

nyaliku ciut mengenang duka yang mengeras.duka kepompong yang tak jadi kupu-kupu, hujanku semakin membeku.

hujan itu serupa tangis dewi amba yang mengiba-iba pada bisma. aku terkesima. deras hujan sore itu menjadi anak panah yang menghunjami bisma rebah ke bumi.

'aku belum mati!' keluhnya pada matahari yang pelan-pelan menampakan wajahnya.
tetapi,  apakah hujan akan berhenti? dewi amba membayang pada binar matanya yang meredup.

pelangi mewarna di keningnya bersama gerimis yang perlahan memeramkan api dewi amba. api yang berasap kesucian. api yang dinyalakan oleh murka.

biarlah hujan tak berlalu. air yang menggenang merah sisa rerintihan bisma adalah air cinta dewi amba. aku ingin menapakinya, meski matahari perlahan-lahan meninggalkan kurusetra.

biarlah hujan tak berlalu, memilin-milin harapan, meski jalan becek berselimut kabut.
cahaya segemilau apa, ketika arak mendung, dan rinai hujan, masih saja menghiasi wajah pada langit senja?

masihkah kita punya harapan. matahari masih dibuai kabut. dipinggir hujan ini, kita merebahkan harapan. menunggui cahaya. cahaya kita sendiri.

Surabaya, 2011

Tidak ada komentar: