(Renungan pendek tentang kritik sastra)
Oleh :
R Giryadi*
|
Usia sastra Indonesia (modern) belum panjang. Karena
usia belum panjang, maka ilmu-ilmu yang mempelajari tentang sastra Indonesia
belum panjang. Karena belum panjangnya ilmu atau teori tentang sastra, patutkah
kita bertanya tentang kritik sastra? Karena tradisi belum panjang itupulalah
timbul pertanyaan-pertanyaan. Apakah kita sudah memiliki cara pandang (ilmu)
sendiri dalam memahami sastra (Indonesia) yang usianya belum panjang? Bagaimana
dengan kondisi kritik sastra kita?
Sebelum masuk ke pertanyaan yang
membingungkan ini, marilah kita lihat situasi sastra kita. Sastra (modern) kita
merupakan ‘warisan’ sastra Barat. Karena warisan sastra Barat, maka mau tidak
mau, struktur sastra, baik itu puisi, cerpen, novel, dan naskah drama, adalah
struktur berfikir orang Barat, yang konstruktif dan analitis. Karena itu
ilmu-ilmu sastra yang kita baca sampai hari ini adalah ilmu-ilmu atau teori
sastra Barat. Karena berkembangnya ilmu sastra Barat, maka mau tidak mau, dalam
memahami sastra adalah dengan cara orang Barat.
Tradisi sastra (modern) kita adalah
hasil dari politik etis bangsa Barat yang berkembang beberapa abad sebelumnya.
Sastra Barat, dibawa oleh mereka yang mendapat ‘pulung’ bisa belajar ke Eropa.
Disana mereka mempelajari seluruh sastra Barat yang dibangun dari tradisi
berfikir secara terstruktur. Sementara kita tahu, mereka yang berkesempatan
belajar sastra di Barat, kemudian membawa tradisi sastra Barat. Maka setelah
para kaum pelajar membawa sastra Barat, sejarah sastrapun ditulis. Dan sejak
penulisan sejarah sastra, maka munculah teori-teori tentang sastra Indonesia.
Setelah muncul teori maka munculah kritik.
Karena tradisi (ber) sastra adalah
tradisi Barat, maka mau tidak mau, teori sastra adalah teori sastra Barat, dan
tentunya juga kritik sastra (cara) barat. Maka kita mengenal banyak teori, dan
kritik sastra dengan cara berpikir orang Barat.
Jika melihat perkembangan dalam dunia kritik sastra,
kita mengenal konsep formalisme, strukturalisme, Marxis, pasca-Marxis, dan
pascastrukturalisme, termasuk pascamodern. Kaum formalis membatasi kritik pada
level tekstual dan teknik-metodelogis. Strukturalisme ternyata telah melakukan
pembunuhan terhadap subyek dalam menerapkan kritiknya.
Pascastruktural hanya menjadikan kritik sebagai wacana,
reproduksi makna, melakukan decentering terhadap logosentris, dekontruksi
terhadap struktur, dan melakukan strukturasi sehingga melakukan penngrusakan
struktur dan melampaui struktur itu sendiri.
Pasca-Marxis berusaha membangkitkan subyek yang terbunuh
oleh struktrualisme dalam relasi kelas dalam mana subyek tersebut dijadikan
sebagai penyalur berbagai subyek imajiner dalam pembangunan suatu wacana.
Namun begitu pendeknya usia sastra
kita, maka begitu belum mendalamnya teori sastra kita. Begitu pendeknya sejarah
dan teori, maka begitu pendek pula kritik kita. Begitu pendeknya usia kritik
kita, tak heran bila, banyak yang mengklaim kritik sastra kita sudah mati.
Hemat saya, jangankan mati, hidup saja belum. Mengapa? Ya, karena hidupnya
serba sepotong-sepotong. Meskipun ada kritik, tetapi belum bisa menggayuh
seluruh aspek sastra. Intinya, benarkah nalar kritik sastra Barat mampu
diterapkan dalam sastra kita?
Selama ini kita percaya bahwa kritik
sastra dapat berfungsi untuk mengabarkan, menginformasikan, memberikan pemetaan
tentang sastra-sastrawan, sebagai juru penengah ---kadang-kadang juru tafsir---
antara pembaca-karya-pengarang. Tetapi benarkah kritik sastra kita telah
melakukan itu semua? Jangan-jangan apa yang kita sebut “kritik sastra” selama
ini tak lebih sekedar rasan-rasan
sastra belaka.
Persoalan lain, apakah benar-benar
kita benar-benar mempunyai “warisan” bangunan kritik sastra? Tempo dulu orang
banyak membicarakan tentang kritik subyektif H.B Yasiin, setelah itu orang
meributkan kritik “Rawamangun”. Kemudian juga munculnya perdebatan, sastra
kontekstual, sastra pedalaman, sastra seks, sastra cyber, dan sastra koran,
memunculkan perdebatan dan bahkan memunculkan ide tentang kritik sastra yang
relevan.
Yang kemudian ingin kita ketahui dan
kita inginkan, bagaimana kritik satra dapat menjadi roda gila yang dapat
menggerakan sendi-sendi kreatif sastrawan-masyarakat pembaca, selain tentu saja
membuka medan tafsir bersama tentang sebuah karya sastra.
Apa yang diharapkan dari kritik
sebenarnya? Saya masih sangat pesimistis. Karena selain yang sudah saya
sampaikan di atas, betapa nasib sastra kita tak sehebat yang kita bicarakan,
karena toh pada kenyataannya, masyarakat pembaca kita masih jauh dari harapan.
Taufiq Ismail mengklaim, masyarakat kita adalah masyarakat bukan pembaca dan
masyarakat nol buku.
Bahkan dengan sangat satir, Seno
Gumira Adjidarma, mengatakan, masyarakat kita, membaca sastra setelah mereka
membaca lowongan pekerjaan. Membaca sastra dianggap sebagai hiburan diwaktu
luang. Masyarakat kita masih belum menjadi masyarakat pembaca sastra yang
kritis. Kalau masyarakat pembacanya masih sambil lalu, tak heran kalau kritik
sastra kita juga sambil lalu.
Baiklah, kita memang harus mengakui,
meski begitu pendeknya tradisi bersastra kita, muncul para teoritikus sekaligus
kritikus. Rahmat Djoko Pradopo (1984) misalnya, dalam
disertasinya Kritik Sastra Indonesia
Modern telah memaparkan sejarah kritik sastra di Indonesia. Pradopo dalam
mengategorikan kritik berpegang pada teori romantik yang dikenalkan M H Abrams.
Akhirnya, model ini banyak diikuti kritikus di Indonesia, khususnya aliran
akademis hingga saat ini.
Mari kita juga tengok beberapa gagasan dari Budi Darma
(1995). Budi Darma malah mempersoalkan kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik
sastra kita masih berparadigma kritik barat. Sementara paradigma sastra kita
adalah paradigm Timur. Persoalan yang muncul adalah apakah paradigma tersebut
masih relevan jika dikembangkan di dunia akademis kita? Apakah paradigma yang
dianut oleh dunia akademis kritik sastra kita saat ini sudah sesuai dengan
bentuk dan Zeitgeist-nya. Buku Ignas
Kleden (2004), Sastra Indonesia Dalam
Enam Pertanyaan, bisa dikatakan contoh kritik sastra terapan yang sangat
bagus yang sadar paradigma.
Melani Budianta (2002) menyebutkan istilah kunci untuk
kajian (sastra). Pertama, genealogi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri
teori-teori budaya dari Mathew Arnold hingga teori pascamodern. Kedua, aneka
ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan yang berbeda.
Ketiga, sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang
tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.
Kritik sastra yang berpedoman pada kajian budaya
tersebut pada akhirnya jatuh pada pembuktian konstruksi estetik semata.
Paradigma yang terakhir dalam dunia kritik sastra atau teori sastra sejak zaman
romantik Inggris, formalis, strukturalisme, hermeutik, pasca-Marxis,
pascastrukturalis, pascamodern dan culture studies atau dari abad XX hingga XXI
telah menunjukkan kelemahan dan kegagalan dalam mendekati dan membaca karya
sastra.
Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang
membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah
konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat
pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori
sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya
sendiri.
Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai
dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri. Lalu bagaimana seharusnya? Radar Panca Dahana,
pernah mengisyaratkan kritik oleh pembaca. Menurutnya pembaca adalah ‘kritikus’
yang paling relevan. Apakah dengan demikian kita mengabaikan kritik(us) sastra?
Sekali lagi, dalam tradisi yang serba pendek, bangunan
akar tradisi sastra kita belumlah kuat. Dalam tradisi belum kuat, kritik sastra
kita jugalah belum kuat. Bahkan mungkin juga, kritik sastra kita masih berupaya
lahir dengan tangan, kepala, kaki, dan tubunya sendiri. Yaitu tubuh tradisi
sastra Indonesia. Artinya, kritik sastra memang tidak harus bergaya ala Barat,
tetapi kritik sastra Indonesia perlu membuat ‘teorinya’ sendiri.
Seperti kata Budi Darma, seorang kritikus adalah orang
yang sudah bermakrifat. Dan kita tahu semua, untuk mencapai kemakrifatan itu,
seseorang tidak hanya berbekal teori, tetapi juga kepekaan untuk menghayati.
Mari kita tunggu kemakrifatan kritikus kita.
*)
Disampaikan dalam Seminar Sastra, di Unesa Kampus Lidah Wetan, 24 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar