Rabu, 27 Juni 2012

Drama Pendek Pembunuhan Godot*


Cerpen R Giryadi

Kabar datangnya seorang yang akan memenggal kepalaku, sebenarnya sudah aku dengar lama. Tetapi, sebagaimana biasa, kabar itu pasang surut, tidak jelas kebenarannya.
Terkadang kabar itu begitu santer terdengar. Tapi juga terkadang menghilang begitu saja.
Meski kabar kedatangannya semakin surut, aku tetap waspada. Seseorang yang berhati jahat, punya sejuta jalan untuk membunuh musuhnya. Dan hari-hariku, seperti berjalan di labirin yang penuh dengan jebakan.
“Inilah bagian perjalanan hidupku yang menegangkan,” kataku pada seorang teman yang matanya agak juling.
“Apa kamu butuh bantuan?” katanya tak menyakinkan. Aku geleng kepala. Karena bisa jadi ini bagian dari jebakan.
Sejak muncul kabar itu, aku menjadi manusia perasa dan menyendiri. Tak ada suasana yang menentramkanku. Seperti dalam labirin, setiap tikungan, perempatan, pertigaan adalah pertanyaan dan kecurigaan. Untuk menentramkan batin, aku sengkelit belati di pinggang.

“Apakah kamu takut mati?” tanya temanku yang berkacamata tebal.
“Saya takut ditusuk dari belakang,” kataku.
“Lalu untuk apa kamu membawa belati?”
“Biar mati terhormat, ia akan aku tantang bertarung.”
“Apa kamu tahu siapa yang akan membunuhmu?”
“Godot…”
“Siapa dia? Dia laki-laki atau perempuan. Seberapa besar orangnya?” tanya temanku sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.
Seperti ada duri di tenggorokanku. Aku tidak tahu, siapa Godot? Nama Godot memang seperti mencuat begitu saja dari dalam otaku. Ia lahir begitu saja. Ia seperti malaekat maut yang sewaktu-waktu datang. Ia tak tergambarkan.
***
Waktu seperti mengekal. Tidak ada tanda-tanda Godot datang. Aku menanti dengan belati terhunus. Kapan Godot datang? Tanganku gemetaran, mengayun-ayunkan belati.
“Godot gak onok, Cak. Sing onok Togog...”
Sing onok codot, piye jal? Ayo kapan ngumpul-ngumpul?”
***
Akhirnya Godot memang tidak datang. Belati di tangan aku tebaskan pada angin yang mengerami kebohongan.”Godot sampai kapan pun aku masih menunggumu. Siapkan lehermu tercabik amarahku!!”
Waiting for Godot.”
“ Godot itu terjemahannya apa yo, Rik.”
Godot= gondrong mirip codot...wakakakaka!”
Gathot, telo sing kothot... tapi enak...hehe...”
“Wah saya sangat setuju dengan naskah itu, Lek.”
“Ia mengajarkan, hidup tidak hanya terlahir dan mati, tetapi juga ‘menunggu’? Begitukah?”
Gak usah dienteni, areke rodok nggreges, mau wis tekan prapatan Balai Pemuda, tapi balik maneh nang Kaliasin gang Pompa. (lho, lak omahe Saipul Hadjar iku hahaha).”
Aku tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggerogoti kepalaku. Sekali waktu aku menghampiri para mulut cerewet ini. Terkadang aku berikan tanda tanya besar. Tetapi tak jarang aku lempar mereka dengan tanda seru.
“Makan tuh Godot!”
***
Demikian, berhari-hari aku siapkan diriku menghadapi Godot. Namun orang atau entah makluk apa yang dikabarkan bakal memenggal kepalaku itu tak jua datang. Aku sering menunggunya dengan amarah yang menyala-nyala. Namun demikian, Godot tak jua menampakan pucuk rambutnya.
Sering kali aku pulang tanpa membawa kepala Godot. Hari ini aku berharap ia hadir dan menyerahkan kepalanya untuku. Namun, sekali lagi, Godot semakin hampa.
“Kemana kau gerangan? Istriku nyidam asinan kepala pengkhianat!” teriakku.
“Sabar, sabar. Wong Sabar aja sabar.”
“Hari ini mesti sabar lagi kayaknya ya?”
“He he he he, tapi istriku dah dapat bahan untuk asinan kok, kemarin pulang dari Blitar dibawakan nangka sama mertua.”
“Ampunnnn DJ, Cak Mat, (kata godot)...?”
“Mas Iwan, sampeyan kudu terus mengikuti statusku..cekne ngerti Godot iku sapa...he he he.”
***
Waktu kembali mencair. Teror Godot melumer begitu saja. Meski begitu, aku masih nyengkelit belati. Siapa tahu suasana seperti ini dimanfaatkan oleh orang yang benar-benar mau membunuhku. Aku kembali hidup normal. Teman-temanku sekantor malah memanggilku Godot. Julukan Godot malah menjadi canda tawa di sela-sela memikirkan pekerjaan yang semakin amburadul.
“Hai Godot, apa kabar?” sapa seseorang, di siang bolong, di sebuah jalan yang tidak penuh dengan lalu-lalang mobil dan kendaraan bermontor.
Aku terkejut dibuatnya. Aku mengira ia kawan sekantor di divisi lain yang luput dari pengamatanku. Aku menyapanya dengan ragu. Orang asing itu tiba-tiba menyodorkan segelas kopi. Ia membawa secangkir kopi panas seduhannya sendiri. Ia menyodorkan persis di depan wajahku yang kusut kurang tidur.
Ia seperti mendorongku duduk di trotoar yang berlumut karena genangan banjir. Orang asing itu menyebutku Godot. Jadi Godot adalah aku? Orang asing  itu tersenyum. Senyumnya persis seperti senyumku. Senyumnya membuat amarahku meredup, mengiba-iba sebagai orang papa.
“Kamu siapa?” tanyaku di tengah kelunya bibir.
“Godot!” kata orang asing itu sembari nyeruput kopi.
“Kamu menyapaku Godot?”
Orang asing yang mengaku Godot itu tak menyahut. Ia memperhatikan kepulan asap kopi.
Orang yang mengaku Godot tak memberiku harapan. Ia melemparkan senyumnya yang hampa. Aku siap menghunuskan belati. Wajahku pucat pasi. “Apa kau mau membunuh dirimu sendiri?” Pertanyaan itu menggedor-gedor batin.
Seharian aku dan orang asing itu tak banyak bicara. Secangkir kopi, ampasnya telah mengering. Beberapa lalat hinggap di bibir cangkir. Mereka mengorek-orek sisa pergumulan kami. Sesekali ia nyambangi bibir yang mengatup dalam, mencuri sisa manis gula. Tak ada!
Sisa manis telah aku lumat habis. Orang asing itu tampak menepuk-nepuk lalat yang beterbangan di sekitar bibirnya. Ia seperti tidak terima, sisa manis yang melekat di sekitar bibirnya dicuri begitu saja. Satu lalat menggelepar.
“Hidup adalah perjuangan, kawan!” serunya pada lalat yang terkapar.
Dahiku mengkerut. Ucapan laki-laki itu seperti ditujukan padaku. Atau apakah itu adalah kata-kataku. Tidak.
“Kamu terlalu lemah, untuk berjuang kawan!” serunya lagi.
Sebenarnya aku siap menghunuskan pelati ke lehernya. Tetapi entah mengapa aku seperti lalat yang menggelepar, tidak berdaya untuk menggapainya. Padahal orang yang mengaku Godot itu sudah bersamaku. Hanya satu jengkal saja jaraknya.
Kini, pilihannya aku atau dia yang terusir. Ini pilihan sulit. Karena apapun pilihannya, akulah yang terusir. Orang yang mengaku Godot dan menyapaku Godot, tampak tersenyum sinis menyaksikan gelepar lalat yang berusaha bangkit. Sedetik kemudian, kakinya yang penuh bulu, menggencetnya sekuat tenaga. Plezzzt!
“Habislah!” serunya kegirangan.
Aku terkesiap. Rasa kopi yang tertinggal di cethak, terasa pahit. Pahit sekali. Ya sudah, orang ini memang pantas mati.
“Kenapa ragu?” desahnya.
Belati yang aku selipkan di pinggang aku tarik begitu saja. Sekonyong-konyong belati itu menebas leher orang yang mengaku Godot dan menyebutku Godot. Namun sebelum mata belati menyentuh lehernya, ia melemparkan senyum. Senyum itu seperti senyumku.
“Mengapa kamu menghunus belati?” katanya.
“Bukankah kamu Godot yang bakal membunuhku?” sahutku.
“Bukankah kamu yang Godot?” katanya lagi.
“Aku tidak ingin berdebat siapa kamu dan siapa aku!” seruku berani sekali.
“Oh, sudah punya nyali rupanya?”
Nyali? Sebenarnya aku tidak punya nyali. Tapi ini musuh sudah di depan mata. Apalagi yang harus diperbuat selain mengambil kesempatan, sebelum kesempatan itu direbut musuh?
“Ya sudah, apalagi yang kamu tunggu?” seru orang yang mengaku Godot itu. “Lakukan!” lanjut orang itu sembari menyerahkan lehernya.
“Aku tak ingin kamu mati tidak terhormat!” kataku sembari melempar belati. “Terima kasih kopinya!” seruku lagi sambil meninggalkan orang asing itu.
Namun seratus tarikan napas dari orang asing itu, tiba-tiba terdengar suara suitan. Aku menoleh. Sebilah belati terbang bagai kilat. Aku tak sempat menghindar. Belati itu melibas leherku. Darah muncrat, menimbulkan bercak merah di tembok berlumut.
Kota ini tiba-tiba menjadi sepi. Bahkan menjadi gelap gulita. Namun dari sela-sela sunyi itu aku dengar kata-kata terakhir orang yang mengaku Godot itu : “Kamu selalu menyia-nyiakan kesempatan!”
Apakah itu suara diriku?!

Sidoarjo, 2010
*Cerpen ini sebagian aku kutip dari status facebook-ku. Terimakasih kepada pengkhianat yang telah melempar belati dari belakang.

Tidak ada komentar: