
Oleh : R Giryadi
Kepala Kodrat seperti berisi pasir. Sudah jelang siang, rokok dan
kopi tak ada disisinya. Darti, istri yang dikawin begitu saja tanpa surat nikah, tak ada di
tempat. Matanya nyalang ke seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa.
Hanya bangku jebol. Almari kaca pecah. Tumpukan gombal tak dicuci. Kalender usang gambar
artis Mandarin
pujaannya, terpasang agak miring. Seekor tikus melompat trengginas. Cicak
begitu malas bergerak. Suara bising. Panas. Pengap.
“Dasar pemalas!” keluh Kodrat, sembari melempar sarungnya.
Hati Kodrat semakin kemropok. Apalagi, ia tahu Darti pasti pergi ke
Wonokromo, menemui gendakannya yang jualan sepatu curian, di dekat pasar Wonokromo.
“Masih siang sudah gendakan,”
gerutu Kodrat, sambil menghempaskan tubuhnya lagi ke kasur butut. Sisa alkohol semalam masih tersisa di kepala.
Kodrat tak peduli. Toh ia bisa membalas kelakuan Darti gendakan
dengan Yu Mis, dekat kali Jagir,
sambil minum minuman oplosan.
Kodrat bisa saja berbuat apa saja. Tetapi ketika ingat Urip, anak
satu-satunya,
yang dibawa dari desa, karena Sumini
-istri sahnya- ‘minggat’ ke Malaysia, dan memilih menikah dengan
orang Malaysia, hatinya meredup. Ia tidak bisa membiarkan Urip menjadi
gelandangan seperti bapaknya. Tetapi mau bagaimana lagi? Menjadi gelandangan
seperti kutukan!
Sudah berusaha sampai jungkir balik, tetapi hasilnya tetap mentok,
terjungkal di pinggir rel, menempel di tembok pabrik atau batas gedung-gedung bertingkat, seperti parasit. Belum lagi, setiap hari diancam akan digusur, kalau
tidak setor uang keamanan. Hidup sepertinya hanya untuk setor nyawa pada orang
lain.
Dulu, seandainya istrinya tidak menerima bujukan calo-calo tenaga
kerja, pasti hidupnya tidak bau anyir seperti ini. Ditawari kerjaan kok malah
nunggak hutang tidak karu-karuan. Sawah rumah malah kejual untuk nomboki
hutang-hutang. Sudah harta habis, istrinya malah tidak pulang-pulang.
Terus mau apa lagi, di desa sudah tidak punya sawah ladang dan rumah? Kodrat
memilih minggat ke Surabaya. Di Surabaya ia kerja serabutan. Kalau tidak dapat kerja
serabutan, ya jadi copet atau jambret. Ketemu dengan Darti yang terdampar di Surabaya, karena Urip –anaknya- yang semakin besar terus bertanya tentang ibunya. Terpaksa, Darti yang melacur di
stasiun Wonokromo,
diseret ke gubuknya. Darti disuruh mengaku kalau ia ibunya.
Tetapi dasar anak. Ia tahu mana ibu asli dan ibu palsu. Urip tak
pernah menganggap Darti ibunya. Mesti dibujuk, dirayu dan
bahkan dipastikan sepasti-pastikan,
Urip bergeming. Urip tetap percaya kalau bau keringat Darti bukan bau keringat Sumini –ibunya- yang pertama kali
diendusnya.
Kurang ajarnya Urip, setelah ia tahu Darti yang mengaku ibunya itu pelacur, kalau marah
ia selalu memanggil
Darti,’Lonthe!’.
Prilaku kasar Urip ini yang membuat Darti
sering curhat ke Paryono. Namun apakah membuat olok-olok Urip reda?
Tidak ada yang bisa meredakan kemarahannya. Apalagi, ketika ia tahu,
bapaknya tidak bisa menyekolahkannya, di sekolah negeripun. Kemarahannya itu sering di
tumpahkan di jalanan, bersama, Uki, Sukir, Dakrip, Oseng, Kebo, dan Songgle. Setiap kali pulang, ia tampak
sekali menyimpan dendam. Matanya yang kilap, menjadi sayu karena terlalu banyak
ngelem1. Atau mungkin terlalu lelah menanggung beban hidup yang begitu
keras.
“Kamu
ngelem lagi?” tanya Kodrat.
“Bapak pemabok, ibunya lonthe. Masak anaknya ndak boleh ngelem?” jawab Urip enteng.
Jawaban Urip, sering memicu pertengkaran. Dan tak jarang,
pertengkaran itu berbuah pemukulan. Setelah itu, pasti Darti lari ke gendakannya
sampai berhari-hari. Sementara Urip, tak pernah mempedulikan. Ia kembali di
bawah jembatan layang, mencegati truk bak kosong, dan pergi kemanapun truk itu
membawanya.
“Aku akan mencari ibu...!” seru Urip kepada
kawan-kawan gembelnya, ketika melompat di atas bak truk.
Berhari-hari ia terkadang tidak pulang. Apakah Kodrat berharap Urip
pulang? Seharusnya begitu. Karena Kodrat bapaknya. Tetapi apa Urip merasa
Kodrat adalah bapaknya? Pertanyaan itulah yang sering direnungkan Kodrat.
Tetapi setiap kali ia merenung, kepalanya seperti berisi pasir. Bayangan masa
lalu yang begitu pahit, malah mendedah ruang hatinya.
“Sum, kalau saja kamu dulu ndak memutuskan pergi ke Malaysia, tentu
saja nasib
Urip tak seperti ini!”
Setiap kali memikirkan Urip. Hidup Kodrat selalu limbung. Namun apa
yang bisa diperbuat? Biaya sekolah semakin tak terjangkau. Meskipun ia nyopet, njambret, bahkan ikut merampok sampai
puluhan kali, tak bisa menebus biaya
sekolah Urip.
“Lo, kemarin kan kamu dapat? Aku dengan dari Loreng?” kata oknum
polisi yang selalu mendatangi Kodrat, ketika ia berhasil menggarap sasarannya.
“Kalau
ndak ada, bisa tak picing2 kamu!” ancam
polisi berpakaian preman itu.
Tentu, setiap Kodrat
berhasil njambret atau nyopet, tak akan bisa terjangkau oleh tangan polisi.
Karena ia memang diopeni oknum polisi
nakal. Karena itulah setiap kali ia memetik hasil, separuh lebih
dihambur-hamburkan untuk uang jasa.
Pernah ia menolak jasa preman
itu. Namun, esok harinya kampung kumuh tempat ia
tinggal disatroni orang-orang tak dikenal. Kampungnya diobrak-abrik, bahkan gubuk Kodrat dibakar. Tapi dasar parasit, tak sampai seminggu, rumah Kodrat sudah berdiri lagi.
Peristiwa itu tidak terjadi satu, dua kali, saja.
Tetapi sudah berulang kali. Dan Buktinya Kodrat bisa mengatasi semua itu.
Tetapi sampai kapan, hidup seperti parasit. Mati satu tumbuh dimana-mana. Dan
sampai kapan menyerahkan nasib pada buthek
kali Jagir, mengalir begitu saja? Padahal sekarang Urip sudah beranjak dewasa.
Ia sudah kelihatan perangainya: Bakal jadi penjahat.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” komentar
Sardi, ketika mendengar keluhan Kodrat.
Sardi yang agak beruntung bisa sekolah di SMP
–tetapi sama-sama nggelandang di Surabaya- itu selalu menjadi jujugkan Kodrat
untuk curhat. Sardi yang nasibnya sedikit beruntung, karena punya istri
resmi-meski dinikahkan massal-sering memberikan saran pada Kodrat. Tetapi
seberapa mempan saran Sardi pada Kodrat, kalau nasibnya seperti ruas buku,
hanya beda halaman saja. Dibolak-balik sama!?
Akhirnya mereka menyelesaikan dengan sebotol
paloma dicampur extrajoss. Atau kalau ada rezeki berlebih, tidak hanya sebotol,
tetapi bisa sampai berbotol-botol. Kalau sudah habis, tinggal kepala pada
puyeng, tidak mabuk, tetapi puyeng mikirkan gak bisa makan. Sardipun pada
akhirnya, sambil mabuk, memberi saran Kodrat.
“Kalau kamu bajingan lebih baik kamu ajari anakmu
menjadi bajingan. Jangan diajari jadi orang baik-baik. Pasti kamu nanti
dibantai habis-habisan. Ha, ha, ha,” kata Sardi, antara sadar dan mabuk.
Kodratpun mantuk-mantuk. Betul memang, Urip
diumbar tidak karu-karuan. Bahkan sekarang Urip tidak sekolah lagi. Sudah
berminggu-minggu tidak kelihatan batang hidungnya. Tetapi Kodrat maupun Darti tak
pernah merisaukan, karena toh nanti Urip akan pulang sendiri.
Tapi tumben kali ini hati kecil Kodrat merasa
tidak enak. Ia mencoba mencari Urip yang sudah menghilang beberapa minggu.
Tetapi mencari Urip di kota sebesar Surabaya, kan seperti mencari jarum di atas
tumpukan jerami. Tak semudah membalikan tangan.
Didorong hati kecilnya, Kodrat berusaha mencari
Urip sampai ketemu. Semua gang-gang sempit di kampung dia susuri. Di tempat
anak-anak gembel ngumpul Kodrat datangi juga. Tetapi semuanya nihil.
Sejak Urip tidak pernah pulang, Kodrat seperti
radio kehabisan baterai. Ia lebih banyak mabok, tidur, dan bermalas-malas. Tak
jarang ia meracu seperti orang gila. Dartipun sering mengata-ngatai; “Kodrat
gila!”.
Bukan salah Darti, kalau pada akhirnya ia kumpul
kebo dengan Paryono, penjual barang bekas di pasar maling tak jauh dari stasiun
Wonokromo.
“Dia kan bukan anakku, buat apa tak pikir jeru-jeru. Bapake gembel, anaknya pasti
juga ngembel,” racu Darti suatu siang.
Kali ini Kodrat tidak menjawab omelan Darti. Bukan
karena jengah, tetapi karena tidak dalam kondisi mabok. Coba kalau semalam
mabok, pasti Darti didamprat habis-habisan.
Mungkin Kodrat sudah tobat. Urip, lebih penting
dari Darti. Urip lebih menjadi masa depannya, dari pada Darti yang hanya mampir
begitu saja dikehidupannya. Memang, ini tidak sepenuhnya salah Darti. Tetapi
Kodrat, menyeret-nyeret Darti dilingkaran hidupnya, demi menyelamatkan Urip,
yang ditinggal ibunya ‘minggat’ ke Malaysia. “Urip butuh sosok ibu,” kata batin
Kodrat.
Tetapi Darti ternyata bukanlah sosok Sumini,
perempuan yang melahirkan Urip. Darti mencintai Urip hanya setengah hati.
Karena itu tak salah bila Uripun tidak mengakui Darti sebagai ganti ibunya.
Ketika Urip sudah dewasa, ia tahu, memang Darti bukan
ibunya yang asli. Tetapi Suminilah ibu kandungnya. Ia sempat meracu ingin
menyusul ibunya ke Malaysia pada Kodrat. Kodrat tentu menolak, karena jelas
tidak punya duit untuk ongkos mencari ibunya di Malaysia.
Bahkan racuan itu sering meluncur begitu saja saat
mabuk lem. Ia benar-benar ingan mencari ibunya, kemanapun ibunya berada. Sekali
lagi, Kodrat tak pernah menggubris keinginan anak satu-satunya ini.
Tetapi setelah berminggu-minggu Urip tidak
kelihatan batang hidungnya, hati kecil Kodrat mulai kecut. Jangan-jangan Urip
nyusul ibunya ke Malaysia. Tetapi apa dia tahu dimana Malaysia itu?
“Aku dua minggu yang lalu ketemu Urip di stasiun Wonokromo,
katanya mau ke Malaysia, nyusul ibunya,” kata Minto, penjual air keliling yang
asli Bojonegoro itu.
“Apa bener, Min?” tanya Kodrat, seperti beranjak
dari mimpi.
“Bener. Tak pikir sudah pamit sampeyan. Wong dia
pakai baju necis, dan bawa perbekalan segala,” kata Minto lagi, membuat hati
Kodrat deg-degan.
“Terus...?”
“Saya gak tau Kang. Setelah itu Urip masuk ke
kereta jurusan Jakarta,” jawab Minto sambil mendorong grobak airnya.
“Jakarta?” gumam Kodrat.
***
Deru kereta seperti mengaduk-aduk hati Kodrat yang
galau. Pikiranya membayangkan Jakarta yang sumpek dan macet. Tetapi semua itu
tak menyurutkan niatnya, nyusul Urip, yang kata Kang Minto pergi ke Jakarta.
“Tunggu aku, Nak, kita cari Mak ke Malaysia!”
gumam Kodrat.
Angin menghempas rambut Kodrat yang kumal.
Wajahnya kusam. Kereta barang melaju dengan kecepatan siput. Cakrawala memerah.
Kodrat tidak tahu, apakah di batas langit sana itu, Sumini dan Urip berada?
NB:
Kepada pembaca, bila bertemu
Urip, anak usia 12 tahun dengan ciri-ciri rambut dicat merah, ada tindik di
telinganya, membawa tas ransel butut warna hitam, mohon segera menghubungi
Kodrat. Sekarang Kodrat menyusul naik kereta barang, Surabaya-Jakarta.
Kira-kira sekarang sampai Solo.
Surabaya,
2012
- Ngelem : Mabok dengan menyedot lem
- Picing : Tembak betis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar