Cerpen R Giryadi
(Jawa Pos, Minggu 29 Mei 2011)
(Jawa Pos, Minggu 29 Mei 2011)
Anak-anak hilang.
Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang
berlari di pematang sawah. Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar
yang menyambar-nyambar ujung rambutnya.
Mereka berteriak-teriak: ‘cempe-cempe undangna barat gedhe, tak opahi
duduh tape, lek entek njupuka dhewe’.
Anak-anak berlari menyambut puting
beliung. Sembari mengibas-ibaskan kaosnya, laksana cowboy yang menghalau
sapi-sapi. Cakrawala memapaknya. Anak-anak hilang. Hilang ditelan senja.
“Kemana anak-anak?! Ditelan grahono!” Suara tetabuhan cangkul,
tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu. Bertala Kala berjoget kegirangan.
Anak-anak lolos dari cengkeraman mautnya.
Anak-anakpun tertidur pulas dalam
rahim istriku. Aku mengusap peluh.
“Apa dia anakku?” aku bertanya dalam
paruh malam, tanpa bulan yang hilang ditelan raksasa.
“Bukan?”
Anak-anak menggeliat. Istriku
menglenguh!
Paranoid kelahiran
Aku gemetar, tiba-tiba anak-anak
menendang-nendang dinding rahim istriku. Istriku meraung-raung, menggelinjang, membanting tubuhnya di kasur
butut. Anak-anak tertawa-tawa. Mereka membawa poster bertuliskan:
‘lahirkan aku!’
Aku tambah gemetar, melihat anak-anak,
meneriakan yel-yel. Mereka membawa mikropon. Seluruh dinding rahim istriku
mereka tendang-tendang. Istriku mengejang.
Aku berusaha tenang. Tanganku
gemetaran. Hatiku berdegup keras, mendengar suara-suara dari rahim istriku.
Sementara, di luar sana, -sepuluh tindah dari kamarku-
orang-orang bercengkerama tentang sebuah tragedi. Seorang anak terjatuh dari kereta api,
kepalanya pecah seperti buah melon. Tak jauh dari ceceran tubuh itu, anak-anak sebayanya memandangi tubuh hancur, sembari mengunyah permen yang telah
menggerogoti giginya. Anak-anak bertanya, ‘Apakah ia Spongebob?’
Di koran kuning, terpampang judul besar tentang seorang
bapak yang membakar hidup-hidup anak istrinya karena kelaparan. Di sudut lain,
dengan huruf berwana merah koran itu menulis, seorang anak diperkosa ayah tirinya, seorang anak dibuang di tempat sampah, seorang anak
terkena ledakan tabung LPG. Anak tewas tersiram air panas.
Sementara di televisi disiarkan, seorang anak kepalanya membesar, seorang anak
lahir dempet, seorang anak lahir tanpa bapak, seorang anak lahir di tengah
dentuman meriam, seorang anak yang tak bisa membeli es krim di siang hari,
karena ibunya tak memberinya uang. Ibunya masih
bekerja di Malaysia. Ibunya minggat dan tak pernah kembali.
Semuanya mendatangkan iklan besar.
Iklan untuk anak-anak!
“Apakah anakku akan lahir?”
Anak-anak
tertawa.
Lidahnya dijulur-julurkan, seperti mengejekku yang terpaku di
hadapan rimbun jembut istriku. Istriku seperti ikan dalam kulkas. Beku tak berdaya. Tubuhnya bergetaran. Seperti terkena
guncangan gempa.
Istriku
menangis.
“Itulah anak-anak. Meski masa indahnya dirampas. Ia tetap saja tertawa riang,” desisku sembari memeras keringat dingin, menghibur istriku. Tertawa
anakku semakin keras.
Aku
terbelalak.
Perut istriku seperti magma. Anakku berlari-lari digigir rahim istriku. Mereka aku raih diantara semboyan:
dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja! Aku memilih laki-laki.
“Kalian hidup diabad besi. Lahirlah dengan tubuh
besi!”
Maka meledaklah rahim istriku. Langit senja merah darah. Suara adzan menggema, berkelindan dengan suara nyanyian anak pertamaku.
‘Aku anak sehat tubuhku kuat
karena ibuku rajin dan cermat
semasa aku bayi, slalu diberi asi
makanan bergizi dan imunisasi!’
Anakku menyanyi dengan riang. Ia aku sambut dengan perasaan hampa. Ia lahir, di tengah rimbun jaman besi. Jaman
televisi.
“Anakku harus sekuat Gatutkaca. Masuklah ke
kawah Candradimuka!”
Maka, dalam otaknya aku tanamkan pisau, belati,
pedang, bayonet, keris, kapak, revolver, magnum, AK47, M16. Dalam hatinya aku curahkan adonan hati babi yang diseduh dengan bisa ular,
kalajengking, dan kencing tikus got.
“Jadilah manusia. Jadilah manusia. Jadilah
manusia!”
Sebuah kembang api besar berloncatan
di langit, menyambut kelahirannya. Suaranya berdentuman seperti bom. Atau
bom serupa kembang api. ‘Itu perbuatan teroris. Kita harus melawannya!’ suara
gemuruh televisi mengganggu tidur anakku.
“Negeri ini terlalu keras untuk kita singgahi!” igaunya.
Iklan-iklan bersengkarut menawarkan
produk instan. ‘Tulang kuat, tulang sehat!’
Cuci otak.
Di TV para badut memainkan perannya merebutkan kursi yang
sudah lapuk. Hewan pemamah rupiah berkeliaran bagai serangga
anti oksida. Mereka menghabiskan uang dalam brankas. Sementara di belakang mereka para aparat hukum
sedang takjim melihat drama Sarimin.
Tawa mereka sangat keras. Sekeras hatinya yang digelitik oleh aktor bertubuh tambum dan berkacamata
tebal itu.
Para politikus beramai-ramai beralih
profesi menjadi pelawak. “Gedung Srimulat tergusur. Awaknya pada pindah ke
Senayan,” komentar pengamat politik, yang gaya bicaranya tak beda dengan badut
ulang tahun.
Anakku tersenyum –apa tertawa?-
melihat adegan, seperti dalam adegan panggung OVJ (Opera Van Java). Penonton
tertawa, tetapi para pelawak tak tahu apa yang sedang ditertawakan.
“Haaaaa....haaaa...haaaaa!” mereka
saling menyakiti.
Drama kocak ini tidak akan berakhir. Dalangnya
bingung, bagaimana mengakhiri, cerita negeri ini!.
Orang-orang semakin pandai, bagaimana
menirukan badut bermain akrobat di Senayan, atau para gurita yang mengerami
dolar. Sementara para maling yang sok budiman, membagi-bagikan lembaran rupiah
bergambar dirinya. Di sudut kanan atas bertuliskan: ‘Pilihlah aku!’
Seorang penyiar televisi dengan
gayanya yang khas, mencoba menggiring opini, agar penonton percaya, apa yang
diomongkan benar adanya. Iklan sabun cuci, menawarkan pembersih pakaian yang
super cemerlang.
“Apakah secemerlang cuci otak?”
napasku terengah-engah menyaksikan anak-anak dikosongkan otakknya, kemudian
diganti dengan mesin remote control.
Mereka ingin menjadi sahid di tengah murka jaman.
“Jangan takut, Nak. Ini hanya propaganda!?”
Jarik Sidomukti.
Air mata istriku perlahan menetes. Aku mengusapnya dengan jarik sidomukti kumal
peninggalan orang tua. Hanya itu warisan yang sangat berharga.
“Anakku kau jangan takut. Inilah jaman
yang harus kita lalui!” bisikku pada telinga merahnya. Tubuhnya yang mungil aku
bebat dengan jarik sidomukti.
“Semoga engkau selamat dan sejahtera
di tengah jaman yang galau ini,” bisikku.
Ibuku membayang dalam kelam malam. Wajahnya
yang tirus, manggut-manggut, seakan membenarkan bisikanku. Tetapi matanya yang
membiru, mengalirkan air mata. Tak terdengar isakknya.
“Apakah kita bisa membesarkan?” tangis
istriku meledak, seperti merajuk pada bayang-bayang ibuku yang hilang ditelan
malam.
“Entahlah?” Aku cium sidomukti. Bau
keringat ibuku masih terasa membekas. Dari keringat itulah aku lahir. Dari
keringat itulah aku dibesarkan hidup. Dengan jarik inilah aku ditimang dan
dibesarkan.
“Kamu harus hidup, Nak. Jarik
sidomukti ini akan melindungimu!”
Pada subuh.
Aku masih mecicil di depan televisi. MU
dikalahkan Barcelona pada final liga Champions. Sebuah partai besar, sedang
bersilat lidah. Aku mengumpat habis-habisan. Kemelut PSSI tak segera berakhir. Banyak
pecundang menjadi sok pahlawan.
“Atau jangan-jangan kita lupa beda
pecundang dan pahlawan?”
Itu tidak penting. Adzan subuh telah
berlalu. Aku masih termangu di depan televisi. Aku pindah cenel. Orang-orang
berebut tiket ke surga. Aku pindah cenel. Sepagi ini orang sudah saling umpat
di televisi.
Istriku berteriak, “Kang, anakmu,
tolong!”
Aku beranjak. Aku matikan televisi.
Anakku menggeliat.”Jangan matikan
televisi!” serunya.
Aku hidupkan televisi. Mata anakku
terpejam. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dirapalkan dalam mimpinya?
Hmmm, bau pipisnya menyengat hidung.
Pada siang.
“Kang, bangun!” lamat-lamat terdengar
suara istriku. “Sudah, siang masih juga mendengkur! Apa tidak kerja?”
Televisi menyiarkan berita siang. Aku
segera beranjak dari tempat tidur. Tubuhku basah kuyup, diguyur air.
“Apa tidak ingat, Sukir minta tas
sekolah gambar Ipin-Upin!” teriak istriku. Kali ini sangat dekat dengan
telingaku.
“Tas Ipin-Upin? Emang uang dari
Hongkong,” ledekku.
“Ya dari nyopet juga gak papa. Asal
anakmu tidak menangis. Ia juga minta susu Dancow atau Milo!”
“Apalagi?”
“Ia pingin seperti macan. Ia minta
Biskuat.”
“Apalagi?”
“Es crem Magnum!”
“Kalau tidak bisa membelikan?”
“Bunuh saja Sukir, biar tidak bawel,
minta ini-itu!”
Aku matikan televisi. Aku keluar rumah,
menghunus sangkur. Entah untuk jambret atau membunuh Sukir? Tunggulah
beritanya!
Surabaya, Mei 2011
Biodata :
Rakhmat Giryadi, lahir di Blitar, 10 April
1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Pernah mengajar
seni drama di almamaternya selama setahun. Tetapi kemudian dia lebih memilih
‘mengajar’ teater di Sanggar Teater Institut Unesa, sembari memberikan workshop
kepada para guru pengajar seni budaya
dan pelatih teater di SMP dan SMA.
Selain bergiat di teater ia menulis cerpen,
esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga
dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Radar
Surabaya, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia,
Suara Indonesia, Bende, Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah Budaya Kidung,
dll.
Kumpulan
cerpennya : Mimpi Jakarta (2006), Dongeng Negeri Lumut (2011)
Kumpulan naskah
dramanya : Orde Mimpi (2009), Dewa Mabuk (2010)
Puisinya
terkumpul dalam antologi bersama: Luka Waktu (DKJT, 1998), Malsasa (Malam
Sastra Surabaya, 2005-2010), Duka Atjeh, Duka Kita Bersama (DKJT, 2005), Malsabaru (2011), Akulah Musi (2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar