Cerpen R Giryadi
(KOMPAS, 13 Mei 2012)
Maka lumpurpun datang membasuh wajah kota itu.
(Hasan Aspahani,
2006)
***
Itulah bait pertama
yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika
perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas
suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tau arti penderitaan
kami.
Aku mengerti
perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku?. Begitulah yang aku
rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara
lepas dalam batin kami yang menderita.
Akupun tak berharap
kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah
gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta
yang ragu-ragu keluar dari penanya.
Tetapi tak apalah.
Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam
kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka.
Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi
dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami
yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-kais
kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa
bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu
hati.
Karena itu, aku tak
ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita
kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok
moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.
“Tidak! aku cukup
lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung
batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal
hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain
kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang merangas. Tak ada yang tersisa.
“Kini semuanya
telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi kalau kau ingin
datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke
kotaku kini hanya ada satu
jalan, jalan maut!
Di jalan itu akan
kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai
pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi
jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi
perampok yang ganas. Disetiap tikungan, kau harus waspada, karena disitu banyak
pengemis bersenjata tajam, akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perakpun.
Bila kau lolos di
jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan
jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang
tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau
pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang
kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
“Kau tahu, jalan
yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, ketika
kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan
kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis,
‘Maka lumpur pun datang, dan penduduk
kota hilang,’ tidaklah salah.
Untuk mencari
rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi
manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang
mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni
yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.
Atau kau bisa
menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni
anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa
depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kau
jangan berharap telah sampai ke kotaku.
Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barang kali kau masih jalan di tempat.
Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke
kotaku.
Tak ada yang tahu.
Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut
paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni,
juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan
kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke
langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk
mati.
“Apakah kau siap,
kawan?!”
Memasuki kota kami,
melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima
jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena
disetiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tau,
orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan
ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster
jalan labirin, daripada hidup dalam kubangan lumpur.
“Aku menyesal
sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”
Tak ada kebenaran
di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang
berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi
tipis jaraknya. Dan kau tau, banyak diantara kami yang silau oleh kepalsuan
yang berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami
dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak
yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur dari pada menjadi lintah, atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dalam
bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: ‘Semula
ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan
sejak itu menjadi bisu...’
Pada mulanya memang
itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur
perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin
mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau
menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami
banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku
dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, kemana
mengalir. Tetapi tidak taulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan
pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba
kami seperti hidup dalam pekat gelap.
Dalam gelap pekat
itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan
berkepala besar berbelali banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya
begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu,
gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia
merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya
yang kelam, berkata, ‘Hisaplah nak, demi hidupmu?’
Kamu tahu, kau
tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ‘Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.’
Apakah kau masih
ingin ke kotakau? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja
niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan; ‘Wisata Kota Lumpur’,
lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan,
untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam
kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kalaupun kini
banyak orang melihat dan mencari-cari sisa-sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota
kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam
lautan lepas.
Kau tahu, mereka yang
mencari sisa-sisa kota kami, berdiri di atas bukit yang membentang sampai
cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba
mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada
yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar
berbelalai banyak.
Dan kau sangat tahu
dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ‘Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para
nahkodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagaian dari
tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka
di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi
dan tak pernah berdiam, kerja siang malam...’
Kini apakah pantas
kotaku, rumahku, namaku kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin
menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku,
sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah
diculik juga telah musnah. Sia-sia!
“Amnesia! Udara
pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kau
ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan
kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan
berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung,
kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya
nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera
berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku
akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf palawa; Kahuripan.
“Apakah kau tahu
arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku
tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak
bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang
mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun
pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam
suara keras hatimu dibait terakhir: ‘Dulu
di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.’
Itulah
semulia-mulianya kenangan.
Sidoarjo, 2011
NB: 1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota
Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua
kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
Biodata
:
Rakhmat
Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa
IKIP Surabaya 1994. Pernah mengajar seni drama di almamaternya selama setahun.
Tetapi kemudian dia lebih memilih ‘mengajar’ teater di Sanggar Teater Institut
Unesa, sembari memberikan workshop kepada para guru pengajar seni budaya dan pelatih teater di SMP dan SMA.
Selain
bergiat di teater ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain
dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison,
Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Suara
Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Suara Indonesia, Bende,
Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah
Budaya Kidung, dll.
Kumpulan cerpennya : Mimpi Jakarta (2006), Dongeng
Negeri Lumut (2011)
Kumpulan naskah dramanya : Orde Mimpi (2009), Dewa
Mabuk (2010)
Puisinya terkumpul dalam antologi bersama: Luka
Waktu (DKJT, 1998), Malsasa (Malam Sastra Surabaya, 2005-2010), Duka Atjeh,
Duka Kita Bersama (DKJT, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar