Jumat, 22 Juni 2012

Tradisi (Serba) Pendek Sastra Kita


(Renungan pendek tentang kritik sastra)
Oleh : R Giryadi*

Usia sastra Indonesia (modern) belum panjang. Karena usia belum panjang, maka ilmu-ilmu yang mempelajari tentang sastra Indonesia belum panjang. Karena belum panjangnya ilmu atau teori tentang sastra, patutkah kita bertanya tentang kritik sastra? Karena tradisi belum panjang itupulalah timbul pertanyaan-pertanyaan. Apakah kita sudah memiliki cara pandang (ilmu) sendiri dalam memahami sastra (Indonesia) yang usianya belum panjang? Bagaimana dengan kondisi kritik sastra kita?

Sebelum masuk ke pertanyaan yang membingungkan ini, marilah kita lihat situasi sastra kita. Sastra (modern) kita merupakan ‘warisan’ sastra Barat. Karena warisan sastra Barat, maka mau tidak mau, struktur sastra, baik itu puisi, cerpen, novel, dan naskah drama, adalah struktur berfikir orang Barat, yang konstruktif dan analitis. Karena itu ilmu-ilmu sastra yang kita baca sampai hari ini adalah ilmu-ilmu atau teori sastra Barat. Karena berkembangnya ilmu sastra Barat, maka mau tidak mau, dalam memahami sastra adalah dengan cara orang Barat.
Tradisi sastra (modern) kita adalah hasil dari politik etis bangsa Barat yang berkembang beberapa abad sebelumnya. Sastra Barat, dibawa oleh mereka yang mendapat ‘pulung’ bisa belajar ke Eropa. Disana mereka mempelajari seluruh sastra Barat yang dibangun dari tradisi berfikir secara terstruktur. Sementara kita tahu, mereka yang berkesempatan belajar sastra di Barat, kemudian membawa tradisi sastra Barat. Maka setelah para kaum pelajar membawa sastra Barat, sejarah sastrapun ditulis. Dan sejak penulisan sejarah sastra, maka munculah teori-teori tentang sastra Indonesia. Setelah muncul teori maka munculah kritik.
Karena tradisi (ber) sastra adalah tradisi Barat, maka mau tidak mau, teori sastra adalah teori sastra Barat, dan tentunya juga kritik sastra (cara) barat. Maka kita mengenal banyak teori, dan kritik sastra dengan cara berpikir orang Barat.
Jika melihat perkembangan dalam dunia kritik sastra, kita mengenal konsep formalisme, strukturalisme, Marxis, pasca-Marxis, dan pascastrukturalisme, termasuk pascamodern. Kaum formalis membatasi kritik pada level tekstual dan teknik-metodelogis. Strukturalisme ternyata telah melakukan pembunuhan terhadap subyek dalam menerapkan kritiknya.
Pascastruktural hanya menjadikan kritik sebagai wacana, reproduksi makna, melakukan decentering terhadap logosentris, dekontruksi terhadap struktur, dan melakukan strukturasi sehingga melakukan penngrusakan struktur dan melampaui struktur itu sendiri.
Pasca-Marxis berusaha membangkitkan subyek yang terbunuh oleh struktrualisme dalam relasi kelas dalam mana subyek tersebut dijadikan sebagai penyalur berbagai subyek imajiner dalam pembangunan suatu wacana.
Namun begitu pendeknya usia sastra kita, maka begitu belum mendalamnya teori sastra kita. Begitu pendeknya sejarah dan teori, maka begitu pendek pula kritik kita. Begitu pendeknya usia kritik kita, tak heran bila, banyak yang mengklaim kritik sastra kita sudah mati. Hemat saya, jangankan mati, hidup saja belum. Mengapa? Ya, karena hidupnya serba sepotong-sepotong. Meskipun ada kritik, tetapi belum bisa menggayuh seluruh aspek sastra. Intinya, benarkah nalar kritik sastra Barat mampu diterapkan dalam sastra kita?
Selama ini kita percaya bahwa kritik sastra dapat berfungsi untuk mengabarkan, menginformasikan, memberikan pemetaan tentang sastra-sastrawan, sebagai juru penengah ---kadang-kadang juru tafsir--- antara pembaca-karya-pengarang. Tetapi benarkah kritik sastra kita telah melakukan itu semua? Jangan-jangan apa yang kita sebut “kritik sastra” selama ini tak lebih sekedar rasan-rasan sastra belaka.
Persoalan lain, apakah benar-benar kita benar-benar mempunyai “warisan” bangunan kritik sastra? Tempo dulu orang banyak membicarakan tentang kritik subyektif H.B Yasiin, setelah itu orang meributkan kritik “Rawamangun”. Kemudian juga munculnya perdebatan, sastra kontekstual, sastra pedalaman, sastra seks, sastra cyber, dan sastra koran, memunculkan perdebatan dan bahkan memunculkan ide tentang kritik sastra yang relevan.
Yang kemudian ingin kita ketahui dan kita inginkan, bagaimana kritik satra dapat menjadi roda gila yang dapat menggerakan sendi-sendi kreatif sastrawan-masyarakat pembaca, selain tentu saja membuka medan tafsir bersama tentang sebuah karya sastra.
Apa yang diharapkan dari kritik sebenarnya? Saya masih sangat pesimistis. Karena selain yang sudah saya sampaikan di atas, betapa nasib sastra kita tak sehebat yang kita bicarakan, karena toh pada kenyataannya, masyarakat pembaca kita masih jauh dari harapan. Taufiq Ismail mengklaim, masyarakat kita adalah masyarakat bukan pembaca dan masyarakat nol buku.
Bahkan dengan sangat satir, Seno Gumira Adjidarma, mengatakan, masyarakat kita, membaca sastra setelah mereka membaca lowongan pekerjaan. Membaca sastra dianggap sebagai hiburan diwaktu luang. Masyarakat kita masih belum menjadi masyarakat pembaca sastra yang kritis. Kalau masyarakat pembacanya masih sambil lalu, tak heran kalau kritik sastra kita juga sambil lalu.
Baiklah, kita memang harus mengakui, meski begitu pendeknya tradisi bersastra kita, muncul para teoritikus sekaligus kritikus. Rahmat Djoko Pradopo (1984) misalnya, dalam disertasinya Kritik Sastra Indonesia Modern telah memaparkan sejarah kritik sastra di Indonesia. Pradopo dalam mengategorikan kritik berpegang pada teori romantik yang dikenalkan M H Abrams. Akhirnya, model ini banyak diikuti kritikus di Indonesia, khususnya aliran akademis hingga saat ini.
Mari kita juga tengok beberapa gagasan dari Budi Darma (1995). Budi Darma malah mempersoalkan kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra kita masih berparadigma kritik barat. Sementara paradigma sastra kita adalah paradigm Timur. Persoalan yang muncul adalah apakah paradigma tersebut masih relevan jika dikembangkan di dunia akademis kita? Apakah paradigma yang dianut oleh dunia akademis kritik sastra kita saat ini sudah sesuai dengan bentuk dan Zeitgeist-nya. Buku Ignas Kleden (2004), Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, bisa dikatakan contoh kritik sastra terapan yang sangat bagus yang sadar paradigma.
Melani Budianta (2002) menyebutkan istilah kunci untuk kajian (sastra). Pertama, genealogi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri teori-teori budaya dari Mathew Arnold hingga teori pascamodern. Kedua, aneka ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan yang berbeda. Ketiga, sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.
Kritik sastra yang berpedoman pada kajian budaya tersebut pada akhirnya jatuh pada pembuktian konstruksi estetik semata. Paradigma yang terakhir dalam dunia kritik sastra atau teori sastra sejak zaman romantik Inggris, formalis, strukturalisme, hermeutik, pasca-Marxis, pascastrukturalis, pascamodern dan culture studies atau dari abad XX hingga XXI telah menunjukkan kelemahan dan kegagalan dalam mendekati dan membaca karya sastra.
Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya sendiri.
Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri. Lalu  bagaimana seharusnya? Radar Panca Dahana, pernah mengisyaratkan kritik oleh pembaca. Menurutnya pembaca adalah ‘kritikus’ yang paling relevan. Apakah dengan demikian kita mengabaikan kritik(us) sastra?
Sekali lagi, dalam tradisi yang serba pendek, bangunan akar tradisi sastra kita belumlah kuat. Dalam tradisi belum kuat, kritik sastra kita jugalah belum kuat. Bahkan mungkin juga, kritik sastra kita masih berupaya lahir dengan tangan, kepala, kaki, dan tubunya sendiri. Yaitu tubuh tradisi sastra Indonesia. Artinya, kritik sastra memang tidak harus bergaya ala Barat, tetapi kritik sastra Indonesia perlu membuat ‘teorinya’ sendiri.
Seperti kata Budi Darma, seorang kritikus adalah orang yang sudah bermakrifat. Dan kita tahu semua, untuk mencapai kemakrifatan itu, seseorang tidak hanya berbekal teori, tetapi juga kepekaan untuk menghayati. Mari kita tunggu kemakrifatan kritikus kita.

*) Disampaikan dalam Seminar Sastra, di Unesa Kampus Lidah Wetan, 24 Mei 2010.

Tidak ada komentar: