Jumat, 22 Februari 2008

Nyonya Gondo Mayit


Cerpen R Giryadi

Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.
Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.
Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.

Sebuah Makam Untukku


Cerpen R Giryadi

Ketika menjejakkan kaki di jalan beraspal ini, aku membayangkan ibu yang wajahnya mulai dirambati garis-garis ketuaan yang tegas. Seorang ibu yang barangkali hanya duduk termenung sambil menunggu waktu pagi berubah malam. Seorang ibu yang kesepian. Seorang ibu yang tidak tahu dimana alamat anaknya yang puluhan tahun lalu pergi kemudian tak segera kembali.
Apakah setelah sepuluh tahun yang lalu, ibu akan berpikir lain? Apakah ia masih mengenaliku sebagai anaknya? Apakah di rumah –warisan kakek- sudah berganti gambar bapak pembangunannya? Masihkah disana tergantung gambar butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ? Atau masihkah ia menyimpan alat simulasi P4 yang harus dimainkan oleh warga untuk bisa menghapal butir-butirnya?

Polemik Sastra 'Kelamin'

Sastra : Kembalikan Pada Pembaca

Oleh : R Giryadi

Polemik sastra akhir-akhir ini atara dedengkot sastrawan kita di koran ini sesungguhnya tidak membicarakan sastra itu sendiri. Pembicaraan lebih menelusup pada ruang pribadi dan tak menghiraukan ruang pembaca yang sebenarnya disanalah sastra hidup dan mati.
Perdebatan semakin tidak seru karena yang banyak berbicara adalah para praktisi sastra yang tentu membawa konsekwensi apa yang dinamakan politik sastra atau bahkan ideologi sastra. Dan karena itu sesungguhnya polemik itu tidak bersinggungan dengan pembaca dan bahkan cenderung berbicara di dalam ruang masing-masing atau cenderung bermonolog tanpan menimbulkan efek apapun pada (esensi) sastra yang sedang diperbincangkan.

Kekisruhan ini sebenarnya buah dari tidak adanya kritik sastra di tengah laju ‘produksi’ sastra yang melimpah akhir-akhir ini. Kritik yang ada, hadir dari praktisi sastra. Para praktisi sastra ini tentu akan menyampaikan kritik sastra seiring dengan idealisasi sastra yang sedang digelutinya. Selain Hudan Hidayat dan Taufik Ismail yang sedang berpolemik, sastrawan lain seperti Seno Gumira Adji Darma, Agus Noor, Gus Tf Sakai, Taufik Ikram Jamil, Budi Darma ketika menyampaikan kritik akan membawa idealisasi kritik sendiri-sendiri. Disinilah menyebabkan sasta menjadi elit karena tidak berada di ruang yang boleh dimaknai oleh siapa saja. Mereka membicarakan sastra sendiri untuk diri sendiri.
Karena itu, ruang sastra di koran-koran minggu sebenarnya tetaplah berada dalam posisi menaragading. Ia tidak berada dalam satu wilayah yang mudah dibaca oleh siapa saja. Sastra –oleh sebagian pembaca koran- masih dianggap sesuatu yang amat serius di samping berita-berita politik, ekonomi, kriminal, gosip, iklan baris, advetorial, lowongan kerja, dan lain sebagainya (Seno Gimira Adjidarma, 1995).
Kita harus akui bahwa masyarakat kita adalah masyarakat bukan pembaca. Kalaupun membaca mereka adalah bukan pembaca yang aktif. Mereka lebih cenderung memilih membaca untuk mengisi waktu senggang. Sastra dibaca nomer kesekian setelah beberapa materi berita yang disajikan oleh media massa.
Ini kita berbicara sastra yang terbit di media massa. Belum lagi sastra yang terbit dalam bentuk buku. Kita bisa melihat buku sastra, novel, antologi puisi, antologi cerpen, atau buku-buku sastra yang lain banyak terpampang di rak-rak toko buku, tanpa banyak disentuh oleh pengunjung. Mereka lebih banyak bergerombol di rak-rak buku yang menyajikan gaya hidup, panduan hidup, komik, tabloid, dan lain-lain. Buku sastra? Ntar dulu!
Namun sekali lagi, kalaupun mereka sempat mengambil buku sastra, tentu mereka akan lebih mendahulukan mengambil buku-buku karangan penulis luar, atau sastra sastra populer dari pada mengambil buku karangan Nukila Amal, Ayu Utami, Fira Basuki, Dewi Lestari yang melihat covernya saja, dahi mengkerut (dalam hal ini saya tidak mengatakan karya mereka jelek).
Polemik kali ini harus didudukan pada persoalan sastra itu sendiri. Ketika kita membaca karya-karya Jenar Maesa Ayu, Nukila Amal, Ayu Utami, atau yang lainnya tentu akan berbeda ketika kita membaca karya-karya Ratna Indraswari Ibrahim, NH. Dhini, Laela S Chudori, Oka Rusmini dan penulis perempuan lainnya. Bagi pembaca aktif tentu akan mampu membedakan –mengapresiasi- karya penulis terkemuka ini, mana tulisan yang mencerahkan dan mana sastra yang `menyesatkan.`
Bagi pembaca pasif mereka tentu hanya akan memilih sastra mana yang bisa memberikan sensasi dan hiburan belaka. Mereka tidak memperdulikan politik sastra yang sedang didesakan oleh penulis. Mereka tidak secara aktif `mengapresiasi` sastra yang sedang dibacanya.
Polemik sastra antara Taufik Ismail, Hudan Hidayat dan kemudian diamini oleh dua penanggap lainya, M. Faizi (Jawa Pos, 8 Juli 2007) dan Mariana Amiruddin (Jawa Pos, 15 Juli 2007), telah meninggalkan ruang apresiasi yang lain. Bahkan mereka cenderung menutup apresiasi itu sendiri. Lebih ironis lagi, mereka saling menyerang pribadi tanpa menyajikan fakta dan data (social) yang konstruktif (komparatif).
Inikah ironi sastra? Sastra masih dimaknai secara tunggal oleh praktisi sastra itu sendiri. Kehadiran pikiran pembaca seperti dinisbikan. Mereka lebih memintingkan posisi politik sastra daripada makna sastra itu sendiri. Saya menilai, polemik ini lebih dikarenakan perpanjagan dari `persetruan` –meski tidak artikulatif- antara geng Utan Kayu dan Horison. Dan tentunya sebenarnya yang mereka perdebatkan adalah politik sastra itu dan dalam hal ini adalah ‘kekuasaan’ yang diakui atau tidak terjadi dalam medan sastra kita akhir-akhir ini.
Karena itu lebih arif, berdebatan ini harus dikembalikan pada pembacanya. Sebagaimana diungkapkan Maman S Mahayana (2005), pembaca itu kejam. Ia bisa menghakimi sastra dengan caranya sendiri. Ia bisa saja menempatkan sastra pada nomer kesekian dengan urusan yang lainnya. Bahkan pembaca bisa saja meniadakan sastra itu sendiri kalau tidak berguna bagi kehidupannya.
Dari sini akhirnya kita tahu sastra yang hebat adalah sastra yang mampu hidup di tengah masyarakat pembacanya. Sastra yang hidup di tengah pembacanya adalah sastra yang mencerahkan, sastra yang tidak hanya menghadirkan sensasi tema, teknis penulisan, apalagi sastra yang hanya menampilkan kepopuleran penulisnya.
Sastra cabul, sastra wangi, sastra lendir, sastra religius, sastra absurd, sastra surrealis, sastra realis, sastra klasik, sastra populer akan tidak ada gunanya ketika masyarakat tidak membacanya. Mereka akan hidup ketika pembaca menghidupkan dengan menjadikan sastra sebagai bagian dari cara mereka hidup.
Apakah sastra yang diperdebatkan berposisi demikian? Kalau tidak, apalah gunaya kita saling tuding. Kembalikan saja sastra pada pembaca. Begitu saja kok repot! **