Cerpen R Giryadi
Kabar datangnya seorang yang akan memenggal kepalaku, sebenarnya
sudah aku dengar lama. Tetapi, sebagaimana biasa, kabar itu pasang surut, tidak
jelas kebenarannya.
Terkadang kabar itu begitu santer terdengar. Tapi juga terkadang
menghilang begitu saja.
Meski kabar kedatangannya semakin surut, aku tetap waspada.
Seseorang yang berhati jahat, punya sejuta jalan untuk membunuh musuhnya. Dan
hari-hariku, seperti berjalan di labirin yang penuh dengan jebakan.
“Inilah bagian perjalanan hidupku yang menegangkan,” kataku pada
seorang teman yang matanya agak juling.
“Apa kamu butuh bantuan?” katanya tak menyakinkan. Aku geleng
kepala. Karena bisa jadi ini bagian dari jebakan.
Sejak muncul kabar itu, aku menjadi manusia perasa dan menyendiri.
Tak ada suasana yang menentramkanku. Seperti dalam labirin, setiap tikungan,
perempatan, pertigaan adalah pertanyaan dan kecurigaan. Untuk menentramkan
batin, aku sengkelit belati di
pinggang.
“Apakah kamu takut mati?” tanya temanku yang berkacamata tebal.
“Saya takut ditusuk dari belakang,” kataku.
“Lalu untuk apa kamu membawa belati?”
“Biar mati terhormat, ia akan aku tantang bertarung.”
“Apa kamu tahu siapa yang akan membunuhmu?”
“Godot…”
“Siapa dia? Dia laki-laki atau perempuan. Seberapa besar orangnya?”
tanya temanku sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.
Seperti ada duri di tenggorokanku. Aku tidak tahu, siapa Godot? Nama
Godot memang seperti mencuat begitu saja dari dalam otaku. Ia lahir begitu saja.
Ia seperti malaekat maut yang sewaktu-waktu datang. Ia tak tergambarkan.
***
“Godot gak onok, Cak. Sing onok
Togog...”
“Sing onok codot, piye jal?
Ayo kapan ngumpul-ngumpul?”
***
“Waiting for Godot.”
“ Godot itu terjemahannya apa yo,
Rik.”
“Godot= gondrong mirip codot...wakakakaka!”
“Gathot, telo sing kothot... tapi enak...hehe...”
“Wah saya sangat setuju dengan naskah itu, Lek.”
“Ia mengajarkan, hidup tidak hanya terlahir dan mati, tetapi juga
‘menunggu’? Begitukah?”
“Gak usah dienteni, areke
rodok nggreges, mau wis tekan prapatan Balai Pemuda, tapi balik maneh nang
Kaliasin gang Pompa. (lho, lak omahe
Saipul Hadjar iku hahaha).”
Aku tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggerogoti kepalaku.
Sekali waktu aku menghampiri para mulut cerewet ini. Terkadang aku berikan
tanda tanya besar. Tetapi tak jarang aku lempar mereka dengan tanda seru.
“Makan tuh Godot!”
“Sabar, sabar. Wong Sabar aja sabar.”
“Hari ini mesti sabar lagi kayaknya ya?”
“He he he he, tapi istriku dah dapat bahan untuk asinan kok, kemarin
pulang dari Blitar dibawakan nangka sama mertua.”
“Ampunnnn DJ, Cak Mat, (kata godot)...?”
“Mas Iwan, sampeyan kudu
terus mengikuti statusku..cekne ngerti
Godot iku sapa...he he he.”
***
Seharian aku dan orang asing itu tak banyak bicara. Secangkir kopi,
ampasnya telah mengering. Beberapa lalat hinggap di bibir cangkir. Mereka
mengorek-orek sisa pergumulan kami. Sesekali ia nyambangi bibir yang mengatup
dalam, mencuri sisa manis gula. Tak ada!
Sisa manis telah aku lumat habis. Orang asing itu tampak
menepuk-nepuk lalat yang beterbangan di sekitar bibirnya. Ia seperti tidak
terima, sisa manis yang melekat di sekitar bibirnya dicuri begitu saja. Satu
lalat menggelepar.
“Hidup adalah perjuangan, kawan!” serunya pada lalat yang terkapar.
Dahiku mengkerut. Ucapan laki-laki itu seperti ditujukan padaku.
Atau apakah itu adalah kata-kataku. Tidak.
“Kamu terlalu lemah, untuk berjuang kawan!” serunya lagi.
Sebenarnya aku siap menghunuskan pelati ke lehernya. Tetapi entah
mengapa aku seperti lalat yang menggelepar, tidak berdaya untuk menggapainya. Padahal
orang yang mengaku Godot itu sudah bersamaku. Hanya satu jengkal saja jaraknya.
Kini, pilihannya aku atau dia yang terusir. Ini pilihan sulit.
Karena apapun pilihannya, akulah yang terusir. Orang yang mengaku Godot dan
menyapaku Godot, tampak tersenyum sinis menyaksikan gelepar lalat yang berusaha
bangkit. Sedetik kemudian, kakinya yang penuh bulu, menggencetnya sekuat
tenaga. Plezzzt!
“Habislah!” serunya kegirangan.
Aku terkesiap. Rasa kopi yang tertinggal di cethak, terasa pahit. Pahit sekali. Ya sudah, orang ini memang
pantas mati.
“Kenapa ragu?” desahnya.
Belati yang aku selipkan di pinggang aku tarik begitu saja.
Sekonyong-konyong belati itu menebas leher orang yang mengaku Godot dan
menyebutku Godot. Namun sebelum mata belati menyentuh lehernya, ia melemparkan
senyum. Senyum itu seperti senyumku.
“Mengapa kamu menghunus belati?” katanya.
“Bukankah kamu Godot yang bakal membunuhku?” sahutku.
“Bukankah kamu yang Godot?” katanya lagi.
“Aku tidak ingin berdebat siapa kamu dan siapa aku!” seruku berani
sekali.
“Oh, sudah punya nyali rupanya?”
Nyali? Sebenarnya aku tidak punya nyali. Tapi ini musuh sudah di
depan mata. Apalagi yang harus diperbuat selain mengambil kesempatan, sebelum
kesempatan itu direbut musuh?
“Ya sudah, apalagi yang kamu tunggu?” seru orang yang mengaku Godot
itu. “Lakukan!” lanjut orang itu sembari menyerahkan lehernya.
“Aku tak ingin kamu mati tidak terhormat!” kataku sembari melempar belati.
“Terima kasih kopinya!” seruku lagi sambil meninggalkan orang asing itu.
Namun seratus tarikan napas dari orang asing itu, tiba-tiba
terdengar suara suitan. Aku menoleh. Sebilah belati terbang bagai kilat. Aku
tak sempat menghindar. Belati itu melibas leherku. Darah muncrat, menimbulkan
bercak merah di tembok berlumut.
Kota ini tiba-tiba menjadi sepi. Bahkan menjadi gelap gulita. Namun
dari sela-sela sunyi itu aku dengar kata-kata terakhir orang yang mengaku Godot
itu : “Kamu selalu menyia-nyiakan kesempatan!”
Apakah itu suara diriku?!
Sidoarjo, 2010
*Cerpen ini sebagian aku kutip dari status facebook-ku. Terimakasih
kepada pengkhianat yang telah melempar belati dari belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar