Jumat, 18 Januari 2008

Pengantar ‘Mimpi Jakarta’


Menulis Cerita Pendek Karena Terpaksa

Saya menuls cerita pendek (cerpen) karena terpaksa. Ya, terpaksa saya lakukan karena memang tidak ada yang harus saya lakukan selain menulis cerpen. Karena terpaksa saya menulis cerpen dengan tangan di kertas folio bergaris. Saya menulis cerpen, karena hanya pada cerpen saya bisa ‘berbuat’.
Saya menulis cerpen memang selalu dalam keadaan terpaksa. Kali pertama saya menulis cerpen serius –dimuat media massa- sejak sekitar tahun 90-an. Hal itu harus saya lakukan karena saya tidak punya uang sama sekali untuk hidup. Mengapa uang? Ya, dengan menulis cerpen saya berharap dapat honor.

Karena terpaksa, saya menuliskan kisah saya sendiri yang miskin secara materi dan miskin tentang seluk beluk menulis cerpen itu sendiri. Karena dalam keadaan terpaksa sayapun menuliskan nasib saya pribadi. Mengapa saya menuliskan kisah saya sendiri, alasannya cukup sederhana, karena saya yakin dengan menuliskan nasib orang lain pasti hanya akan mengisahkan permukaannya saja. Karena itu dengan mengisahkan nasib saya sendiri, saya berharap cerpen itu memiliki kekuatan permenungan yang lebih dalam. Dengan menuliskan tentang nasibnya sendiri, saya yakin saya tidak kehabisan tema.
Tentu saya harus mengakui, saya menulis tidak semata-mata menguraikan nasib saya yang penuh haru biru karena kemiskinan. Tentu otak dan perasaan saya bekerja dengan sendirinya, mengungkapkan segala kisah yang terekam dalam otak dan perasaan saya. Karena itu tak ayal lagi pengalaman-pengalaman itu tiba-tiba bermunculan saat saya menorehkan tinta di atas kertas bergaris itu.
Cerita Laki-Laki Miskin, sebenarnya berkisah tentang kebosanan saya terhadap ‘ilmu melukis’ yang saya pelajari di bangku kuliah. Waktu itu saya ingin memaparkan pengalaman saya. Tetapi tiba-tiba seorang tokoh hadir. Dia mengaku seorang laki-laki gelandangan. Ia memrotes pada seorang pelukis yang hanya menjadikan dirinya sebagai obyek lukisannya belaka. Banyak pelukis yang menjadikan ‘gelandangan’ sebagai obyek lukisan dan kemudian dia menjualnya sampai ratusan juta. Sementara nasib gelandangan itu tetap gelandangan.
Ini tidak adil. Gelandangan itu memprotes tindakan para pelukis. Iapun melakukan bunuh diri, karena nasibnya telah dipermainakan bahkan diperdagangkan oleh seorang pelukis. Pelukis itupun akhirnya sadar, ternyata apa yang dilakukannya selama ini, yang dikatakan bermanfaat bagi dirinya tetapi belum tentu bermanfaat bagi orang lain.
Begitu banyak pengalaman batin dan pengalaman social yang saya alami, ternyata tak mudah diungkapkan lewat cerpen. Setelah cerpen saya Laki-Laki Miskin, saya seperti kesulitan mengungkapkan segala peristiwa yang secara struktur menarik diceritakan. Dari cerpen satu ke cerpen lainnya, jaraknya cukup lama.
Saya menulis cerpen tidak seperti penulis-penulis lain yang cukup produktif. Bahkan hampir setiap minggu tulisan mereka terpampang di media massa baik lokal maupun nasional. Sementara saya, sering tersendat-sendat dalam mengungkapkan kegelisahan saya. Karena itu, sejak tahun 1990-an sampai sekarang tidak banyak cerpen yang saya buat.
Tetapi saya tidak pernah menyerah. Karena itu sayapun menarget, minimal dalam setahun ada cerpen saya yang dimuat di media massa. Dan target itu tidak membebani saya. Dengan cara seperti itu, akhirnya saya tetap bisa bertahan menulis cerpen.
Itu merupakan keterbatasan saya yang lain. Saya tidak bisa menulis segala peristiwa yang saya lihat, alami, dan saya baca. Ternyata semua peristiwa yang kita lihat, kita alami, dan kita baca tidak mesti bisa dibuat cerpen. Intinya membuat cerpen ternyata tidak gampang. Kalau ada yang menggampangkan, itu persoalan lain.
Dalam sepuluh tahun, saya baru menerbitkan sekitar puluhan cerpen. Tetapi saya berusaha, cerpen saya terbit merata mulai dari koran lokal sampai nasional. Bahkan obsesi saya untuk bisa masuk ke majalah Horisan pada tahun 2002 akhirnya kesampaian.
Saya harus mengakui, kemampuan saya memang sangat terbatas. Karena keterbatasan itulah saya banyak belajar pada orang lain, selain juga mencoba belajar sendiri tidak ada henti. Sahabat saya, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Tengsoe Tjahjono, Ratna Indraswari Ibrahim, banyak memberikan inspirasi kepada saya untuk terus bertahan menulis fiksi.
Dari Widijanto dan Widarmanto saya belajar tentang cara menembus media massa. Tengsoe Tjahjono mengajarkan saya tentang teknis menulis yang komunikatif. Dosen yang puisisnya saya kagumi itu memang ahli dalam menulis puisi yang sederhana dan komunikatif. Ternyata untuk menemukan itu sulitnya bukan main. Dari mbak Ratna saya selalu terlecut dengan semangatnya meskipun dirinya orang yang sangat ‘terbatas’ dalam berbagai hal. Hanya saja saya tidak pernah bisa ‘nyontek’ ilmunya untuk bisa menembus harian Kompas.
Sekali lagi, kemampuan saya sangat terbatas. Karena itu tema cerpen-cerpen saya tidak jauh dari yang dibayangkan kebanyakan orang. Cerpen saya memang terbatas pada obsesi saya pada peristiwa realitas sehari-hari. Saya tidak berusaha mengkonstruksi ataupun mendekonstruksi realitas sedemikain jungkir balik, hingga dikatakan sebagai cerita pendek. Tidak. Saya tidak punya obsesi apa-apa terhadap realitas.
Saya orang yang berkemampuan sangat terbatas. Saya tidak bisa menjungkir-balikkan realita. Saya justru melihat realia itu jungkir balik dan selalu diluar logika. Bahkan terkadang realita itu sebuah suasana yang absurd dan sulit dipahami. Karena itu sayapun tidak ingin terjebak dalam realitas yang absurd ini. Saya ingin apa adanya. Meskipun saya terkadang tidak berdaya melawan diri sendiri, untuk mencoba ‘mengkocok’ realita yang amburadul ini.
Saya memang tidak bisa menolak. Karena kemampuan saya sangat terbatas untuk melawannya. Karena itulah cerpen yang hadir di sini, tak jarang, muncul dengan berbagai cara, dan gaya. Saya memang tak pernah membatasi dengan cara dan gaya tertentu. Saya menulis cerpen dengan gaya saya sendiri. Kalau kemudian ada yang menyamakan dengan penulis tertentu, itu bukan urusan saya.
Karena saya orangnya sangat terbatas, tak jarang tokoh-tokoh yang hadir adalah tokoh fatalis. Mereka adalah tokoh-tokoh pragmatis, yang menilai hidup itu secara hitam putih. Keterbatasan saya selalu berbicara begitu. Saya sering tidak berdaya untuk tidak berbicara secara hitam putih. Padahal semestinya saya berada di daerah abu-abu. Atau jangan-jangan yang abu-abu memang tidak ada? Saya sering membenarkan pertanyaan ini.
Kalau pembaca tidak sependapat dengan yang saya omongkan, tentu ini karena keterbatasan saya belaka. Hadirnya cerpen-cerpen dalam kumpulan ini, setelah sekian puluh tahun saya berkarya tentu juga keterbatasan saya. Karena itu saya bersyukur kalau akhirnya cerpen-cerpen ini bisa terbit dan bisa diapresiasi oleh banyak orang.
Saya sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah menyokong penerbitan ini. Cerpen yang saya terbitkan ini telah dimuat di media massa seperti, Horison, Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, Sinar Harapan, Suara Karya, Suara Merdeka, Suara Indonesia. Semoga cerpen ini bermanfaat dan selamat membaca keterbatasan saya. N

Sidoarjo, Oktober 2006

R Giryadi

Kamis, 17 Januari 2008

Kodrat : (Luka Tak Juga Mengering)



Oleh : Rakhmat Giryadi

“Jancuk njaran!”1 Kodrat mengumpat habis-habisan. Perkakas dapur dibantingi. Kupon togel ia remas-remas dan dilemparkan ke wajah istrinya. Sumini diam saja. Ia sudah hapal dengan kelakuan suaminya yang seperti orang kesetanan, ketika nomor togelnya meleset. Paling-paling kalau sudah payah ia diam sendiri.
Sumini tidak pernah nggubris 2 kelakuan suaminya yang keranjingan togel itu. Mau bagaimana lagi. La wong kalau diingatkan tambah marah. Kalau masalah judi, Kodrat tak mau dikalahkan. Tidak pas hari togel ia dengan teman-teman becakan bisa saja main taruhan. Mulai dari ukik, kolas, balap merpati, thet-thetan, dadu, gaple, semua pernah dilakoni 3.
Kalau sudah waktunya tombok 4, dibelani 5 habis-habisan. Pernah suatu kali Kodrat tak punya uang. Ia ngutang ke Ruminah, lonthe 6 yang sering dikencani di stasiun Wonokromo 7. Wal hasil ya blong.

Kalau blong, perabotan rumah yang paling sering jadi korban. Ia menggadaikan ke Marpaung untuk membeli togel lebih banyak lagi. Padahal perabotan rumah itu juga hasil utang ke Cak Urip, tukang kredit keliling. Cicilannya didapat dari hasil mburuh 8 Sumini menjadi tukang cuci dan ngepel di rumah, Bu Tjokro. Tetapi, hasil jerih payah yang setiap bulan hanya 200 ribu itu, sering dicuri Kodrat untuk nglonthe dan mendem 9 di stasiun Wonokromo.
Barang kali nglothe itu, sekali waktu itu suatu hal lumrah bagi laki-laki. Tetapi Kodrat memang kebangeten. Ia malah kedanan dengan lonthe dari Trenggalek yang terdampar di stasiun Wonokromo itu.
Walaupun nasibnya hampir terpuruk di kolong jembatan Kodrat malah semakin menggila main togel, main perempuan, dan mendem-mendeman. Ia tak memperdulikan anaknya –Sukir- tidak bisa bayar sekolah. Katanya ; “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi koruptor.” Lagaknya seperti politikus. “Jadi brandal saja, sekali waktu bisa ngrampok rumah pejabat yang korupsi. Sekolah tidak juga membuat kon 10 pinter!” Kali ini lagaknya seperti orang kalah perang.
Meski bulan puasa, ia tak pernah berhenti. Apalagi kalau tahu temannya dapat togel, hatinya tambak kemropok 11. Setiap hari waktunya habis untuk ngramesi 12 togel. Buku tulis anaknya pun ludes diterjang ramalan togel. “Kalau dapat, lumayan bisa buat lebaran,” katanya.
Belum lagi kalau ia mau ngalap berkah 13. Tambah lebih gila lagi. Bisa-bisa satu minggu tidak pulang. Bahkan ia sempat dikabarkan hilang. E, tidak tahunya ia pergi ke Gunung Kawi 14 cari wangsit 15. Nunggu kejatuhan daun Dewa Ndaru 16. Ya, lamun tangeh 17 kejatuhan. Dapatnya malah masuk angin. Pulang minta dikeroki. Kalau Sumini tidak mau, ia ngamuk. “Perempuan sundal. Pembawa sial!”
Namun kali ini Sumini memberinya pelajaran. Setelah terima duwit dari Bu Tjokro, ia pulang dengan Sukir ke Ngawi naik kereta api dari stasiun Wonokromo. Ia hanya ingin menitipkan Sukir ke Emaknya di Paron, Ngawi. Di Surabaya sekolah mahalnya bukan main. Kalau di desa meski terasa mahal, masih bisa ditawar. Lebih baik begitu daripada tidak sekolah sama sekali. Tapi sebenarnya selain biaya, Sumini takut anaknya akan menjadi berandalan seperti bapaknya.
“Mak, kata Bapak menjadi brandal lebih baik daripada menjadi pejabat tapi korupsi,” kata Sukir. Sumini tak menjawab. Suara anaknya yang masih berusia 10 tahun itu, termakan gemuruh kereta api.
Sumini menyadari, hidup di gang sempit, seperti lorong-lorong tikus itu, tak pelak membuat kehidupan begitu gaduh dan kacau. Tak jarang, kehidupan keluarga satu dengan yang lainnya saling berpengaruh begitu cepat.
Anak-anak muda yang putus sekolah memilih menjadi tukang palak di terminal Jayaboyo, atau belajar jadi tukang copet di pasar Wonokromo dan bis kota. Tak jarang mereka memilih menjadi bandar narkoba. Yang tak berani menanggung risiko, mereka memilih menjadi pemabuk, kerja serampangan –yang penting halal-, menjadi kuli angkut, juru parkir, tukang becak, atau menenggelamkan dirinya dalam permainan adu balap merpati. Tapi kalau terpepet, bisa jadi curanmor atau penjambret.
Hidup di gang sempit di pinggir kali, seperti hidup dalam satu kubangan dimana semua orang tak bisa menyimpan rahasia. Semua rahasia rumah tangga seperti bisa terjamah oleh siapapun. Telinga dan mata tetangga seperti menempel di dinding dan atap rumah. Tak ada rahasia!
Maka, ketika Kodrat minggat cari wangsit, semua orang tahu. Ketika Kodrat terkapar di depan gedong ludruk Irama Budaya 18 karena mabuk, semua orang tahu. Termasuk ketika Sumini minggat ke Paron. Semua orang tahu, kalau Sumini sudah tidak tahan dengan kelakuan Kodrat. Harta bendanya habis, kelakuan Kodrat malah seperti iblis.
Begitu juga ketika, Sumini ditaksir Cak Jono tukang bakso yang sering lewat di gangnya, semua orang juga tahu, meski Sumini menyimpannya sampai ke dasar sungai Jagir. Tidak hanya itu, bagaimana cerita Sumini sampai terdampar di Pulo Wonokromo dan kumpol kebo dengan Kodrat sampai melahirkan Sukir, semua orang tahu ceritanya dari A sampai Z.
Dulu Kodrat jadi penjaga di pasar Wonokromo. Sumini jualan semanggi 19. Tetapi setelah pasar Wonokromo berubah jadi DTC (Darmo Trade Centre), Kodrat nganggur. Ia tidak punya ijasah untuk melamar. Sumini juga akhirnya jualan di rumah kontrakannya di pinggir kali Jagir, karena tidak punya uang muka untuk sewa stan.
Semua tetangga juga tahu, ditinggal Sumini minggat ke Paron, Kodrat tambah tidak kapok. Ia malah semakin gila main judi. Perabotan rumah sudah hampir habis ia gadaikan. Belum lagi kalau sudah ganjen dengan pelacur di Wonokromo, ia nekat ikut Bengkuk nyopet di Joyoboyo 20, kalau dapat hasilnya dibagi dua.
“Sekarang saya punya nomer sip. 6934 dari dukun Pati. Pasti tembus!” kata Kodrat sembari melempar uang puluhan ribu ke Cak Sokran.
@@@
Sebulan di Paron sudah terasa lama. Apa lagi Bu Tjokro tentu sangat mengharap bantuan tenaganya, karena lebaran sudah begitu dekat. Ia harus segera kembali ke Surabaya. Tetapi terus terang, Sumini tidak tahu, mengapa harus kembali ke Surabaya? Kota besar itu seperti magnet. Ia juga tidak tahu mengapa harus nekat kembali ke Surabaya, kalau di tangannya hanya ada uang 30 ribu, hasil menjual kelapa belakang rumah? Pertanyaan itu tidak penting dijawab. Karena pada dasarnya Sumini telah jadi mesin. Hidup meski dijalani, tanpa pertanyaan.
Meski tanpa jawaban, Sumini sampai juga di depan rumahnya yang tak terkunci. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi reot. Tetapi melihat rumahnya yang pating slengkrah 21 ia tak kuasa memanjakan tubuhnya. Baju-baju suaminya yang gemelethakan 22 di kasur butut segera dimasukan ke ember. Sabun colek yang sudah mengering ia tuangi air. Lima menit kemudian, ia menuangkan ke ember. Baju dan celana suaminya yang bau kecut itu segera direndam. Tak sampai lima menit air berubah coklat.
Sembari menjerang jemuran, Sumini mendengar cerita Ning Gembrot. Ia cerita kalau Kodrat dapat uang banyak. Ia dapat togel. Sumini tidak menggubris. Tapi Ning Gembrot terus nerocos. “Dia dapat nomor empat angka dari Pati. Tadi malam kampung kita geger, karena Cak Kodrat akan dapat uang banyak! Tadi malam Cak Kodrat pesta miras –minuman keras- di depan gedong ludruk, sambil nanggap Warni sinden bencong dari Jombang. Hari Raya kamu pesta besar!”
Kata Gembrot, kalau satu kupon ia beli 5 ribu, kali 90 ribu 23, berarti Kodrat akan dapat duwit 4 juta 500 ribu -duwit yang tidak pernah dimiliki oleh Kodrat maupun Sumini. “Ya kalau Cak Kodrat hanya nombok 5 ribu, tetapi kalau 10 ribu, berarti Cak Kodrat menerima uang hampir 10 juta,” kata Ning Gembrot.
“Mimpi kali ye!” ledek Sumini.
@@@
Sampai sore, Kodrat belum pulang. Ia terlalu mabuk. Sumini tahu, suaminya pasti ketiduran di kursi stasiun. Atau tertidur di becak. Atau minggat dengan lonthe. Sumini tak memperdulikan. Kalau Kodrat benar-benar minggat ia malah senang. Harapan untuk menerima cintanya Cak Jono bisa terwujud. E, siapa tahu Cak Jono bisa memberinya harapan hidup yang lebih baik.
Tetapi terus terang, harapan itu selalu diurungkan ketika ia ingat Sukir. Kalau ia tidak ingat anak, ia sudah minggat dengan Cak Jono. Karena Sukirlah hatinya bertahan. Karena Sukirlah ia rela disiksa Kodrat, lahir-batin.
Sampai larut malam, ketika Sumini hendak merebahkan tubuhnya, Kodrat belum juga menampakan batang hidungnya. Sumini ingat ketika malam pertama ia kumpul kebo dengan Kodrat, tidak peduli badan remuk, Kodrat minta dilayani. Dan malam itu Sumini tak menghiraukan. Karena toh ia sudah tak pernah digumbuli24 Kodrat sejak Sukir beranjak dewasa.
“Apakah orang kere tidak bisa romantis, ya?”
Sumini tak bisa meneruskan lamunannya itu. Karena ia harus segera tidur. Besuk pagi harus segera menghadap Bu Tjokro. Satu bulan ia sudah absen. Kalau tidak, ia bisa kehilangan 200 ribu. Padahal hutangnya di Cak Urip masih menumpuk.
@@@
“Sum, mana celanaku?”
“Celana apa!”
“Biru dongker!”
“Itu belum kering, tak sampirkan di dapur.”
“Kamu cuci..?!”
Kodrat segera nyaut 25 celana yang masih kumal. Ia merogoh saku celana. Kertas togel itu kucal karena basah 26. Mata Kodrat membelalak.
“Jancuk! Kon pancen nggatheli 27. Matamu picek ta 28, kalau ini kupon togel saya yang tembus. Kalau seperti ini apa bisa untuk ambil uang. Asu kon,29 Sum!”
Sumini tak bisa bergerak kemana-mana. Tubuhnya gemetar. Kodrat seperti Kumbokarno tiwikromo. Marah besar! Perabot dapur yang tersisa ia bantingi. Bahkan kali ini tangannya meraih sabit yang terselip di dinding triplek.
Saat itu Sumini bisa tergerak. Ia berlari sekuat tenaga. Kodrat memburunya dengan menghunus sabit. Tetangganya tak berani mencegah. Mereka hanya berteriak-teriak.
Teriakan Sumini tak kalah histeris. Ia menjerit memanggil Emaknya. Tetapi suaranya membentur tembok. Tubuhnya terpojok di gang buntu. Kodrat tak memberi ampun. Sabit diayunkan keras sekali, sekeras hatinya yang beku. Tetangganya berteriak histeris sembari menutup mata.
Sumini hanya satu kali berteriak : “Mak, Sum titip Sukir!” Setelah itu tak terdengar apa-apa. Darah menetes-netes.
@@@
Ketika Sumini siuman, di sampingnya ada Cak Sokran, Bu Tjokro, Cak Urip, dan juga beberapa tetangga.
“Saya di mana?”
“Di RSI (Rumah Sakit Islam), Sum,” kata Bu Tjokro.
“Dimana Cak Kodrat?”
Cak Sokran berbisik : “Bojomu matek disodok 30 pisau, Cak Jono. Sekarang dia dipenjara. Ini uang suamimu. Nggak papa meski nggak pakai kupon.”
“Ini titipan uang dari Cak Jono, Sum. Katanya, dia mau ngrabi 31 kon, kalau keluar dari penjara,” kata Bu Tjokro. Sumini menerima dengan hati gundah. Di lorong kumuh dan sempit itu ia masih menemukan harapan. Ia pejamkan matanya dalam-dalam. Sedalam lukanya yang belum mengering.
Sidoarjo 2007