Kamis, 28 Februari 2008

Cerita Indah Tentang Pohon


Cerpen R Giryadi

Maruto mencelat dari tempat tidur. Tubuhnya menggeliat-geliat, seperti bohon digasak angin. Ia mengerang-ngerang. Maruto berteriak sekuat tenaga. Tetapi teriakannya seperti disekap gelap. Maruto bertambah kalap. Burung gagak berkaok-kaok. Suara tangis menyayat-nyayat. Tembang megatruh terdengar lamat-lamat.
“Bangun, wong lanang, tidak tahu malu!” seru Murtini. Maruto tergagap dari tidurnya. Napasnya satu-satu. Wajahnya basah kuyup oleh air. Mulutnya hendak membuka. Tetapi Murtini segera menyahut.

“Apa, mimpi lagi? Pohon lagi?” kata Murtini sengak.
“Jancuk !! Kamu itu bagaimana to, wong suaminya…”
“Suami apa? Kerjaannya ngumbar mimpi. Prek…!” sahut Murtini sengit.
“Mimpi itu datang lagi. Ia menyiksaku, Mur!”
“Alah, menyiksa apa? Wong kalau tidur mesti ngorok begitu.”

Murtini tidak tahu, Maruto sebenarnya sudah berusaha melupakan mimpi yang setiap malam datang padanya. Tetapi seolah-olah mimpi itu telah menjadi bagian dari tidurnya. Sedetikpun ia tertidur, maka mimpi itu datang juga. Maruto sendiri tidak pernah mengerti sejak kapan mimpi pohon datang. Tiba-tiba mimpi itu datang begitu saja.
Tiba-tiba? Ya, tiba-tiba. Karena memang Maruto tidak pernah nggubris dengan mimpi yang datang padanya. Tetapi ketika mimpi pohon itu berulang kali datang, ia sadar akan gangguan yang tiba-tiba itu. Kalau sekarang ia banyak mengeluh, karena memang dipaksa keadaan. Mimpi itu memang benar-benar menyiksa. Bayangkan saja, sedetik ia terlelap, tiba-tiba mimpi itu datang.
“Ya, menakutkan sekali! Tapi kok aneh sekali. Masak ada pohon tumbuh dalam otak? Pohon apa itu?” kata mbah Karto Dengkek, pada suatu hari, mengomentari ceritanya Maruto.
“Pohonya tinggi dan berdaun lebat, Mbah.”
“Wo, kalau tidak pohon gayam, mahoni, trembesi, pasti beringin?”
“Saya tidak tahu, Mbah.”
“Wah, yaitu. Kamu harus tahu. Kalau tidak tahu lupakan saja,” kata Mbah Karto Dengkek.
“Jadi sampeyan juga tidak mengerti arti mimpi saya itu, Mbah?”
“Kembangnya tidur,” jawab Mbah Karto Dengkek, singkat.
Habis sudah! Orang satu-satunya yang dianggap mau menerima pengaduannya juga tidak mempercayainya. Malah menertawakan. Padahal, Maruto dulu corongnya Mbah Karto Dengkek, untuk menjadi lurah. Tetapi kini ia seakan telah melupakan jerih payah Maruto.
Tragisnya, kini mimpinya itu menjadi bahan tertawaan bagi siapa saja yang diceritai.Tetapi, tertawanya orang lain itu justru membuatnya semakin ingin tahu jawaban mimpinya yang semakin hari, semakin meneror hidupnya.
Tak seorangpun terlewatkan untuk diceritai. Saban hari ia keliling kampung menceritakan mimpinya. Pekerjaannya terbengkelai. Rumahtangganya tak terurus. Tetangganya menganggap ia tidak waras.
“Ya, biar saja. Mau ngomong apa mereka itu. Mereka toh tidak nambeli. Mereka tidak merasakan penderitaan saya. Bisanya hanya menertawakan penderitaan orang lain,” gerutu Maruto getir.
“Kalau begitu, jangan ngomel-ngomel lagi soal mimpi itu,” sergah Murtini kesal.
“Mereka keterlaluan. Apa jeleknya saya mengeluh?”
“Itu kan hanya mimpi to, Kang.”
“Tidak! Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Dan mungkin juga dalam otakmu!” sahut Maruto.
“Kayal! Wis embuh Kang, saya tidak tahu. Pusing!”
* * *
Suatu malam, di tengah makam. Maruto duduk termenung di dekat pusara bapak dan ibunya. Ia berharap malam itu bisa bertemu dengannya. Ia ingin mengadu tentang mimpinya itu. Maruto mendekap pusara bapaknya. Tangannya memukul-mukul tanah. Tangisnya tersedu-sedu seperti ketika masih kecil. Wajahnya dibenamkan ke tanah, seperti nasibnya yang terpuruk.
Tetapi, sampai jauh malam bapaknya tak menampakan diri. Ia beralih mendekap pusara ibunya, kemudian memukul-mukulnya. Diam. Hanya suara gelepar kelelawar dan gemersik daun kamboja yang mengusik keheningan. Maruto sesengukan. Sedih.
“Siapa itu!” hardik seseorang dari kegelapan. Cahaya senter menancap di wajah Maruto. “Mau mencuri mayat, ya?” lanjut seseorang dari kegelapan.
“Ini kuburan Bapak, Ibuku.”
“Mau apa?” Maruto tidak menjawab. Ia ragu-ragu. Apakah seseorang tanpa wajah itu percaya dengan omongannya?
“Saya ingin mengadu,” kata Maruto tersendat-sendat.
“Kamu itu sudah gila, ya!” Maruto terperanjat. Makian terburuk kembali menghantam dadanya. “Orang sudah mati kok dijadikan tempat mengadu. Ayo pulang! Dasar sinting!” hardik seseorang tanpa wajah itu.
Bulan sabit, mengiris-iris hati Maruto. Kunang-kunang menghantarkannya menelusuri gelap. Burung hantu mengikuti dengan tatapan mata kosong. Maruto teringat akan petuah bapaknya, “Hidup itu seperti berjalan dalam gelap. Dan dalam gelap itu ada jalan yang terang benderang yaitu kepasrahan.” Maruto tidak mengerti apakah ia telah menemukan jalan terang itu? Yang jelas ia kini terus menyusuri jalan yang benar-benar gelap. Ia berjalan tanpa arah, seperti pikirannya yang tidak karuan jluntrungnya. Ia tidak ingin kembali kerumahnya. Ia terus mencari orang yang mau menerima pengaduannya.
***
“Hanya orang gila yang meninggalkan istrinya, berminggu-minggu tanpa pamit,” omel Murtini, suatu siang. “Terus maunya itu, apa? Apa kalau mimpinya sudah terjawab, akan berubah hidupnya. Malah tambah kere begini. Mimpi kok aneh-aneh. Setiap malam berteriak-teriak. Setiap hari yang diceritakan hanya mimpinya. Pohon keramat, minta korban, tumbuh dalam otak. Khayal! Begitu kok tidak mau dikatakan gila. To, Maruto. Hidup kok sibuk ngurusi mimpi!” keluh Murtini, sampai napasnya tersengal-sengal menahan marah.
Akhirnya Murtini diam sendiri. Percuma, toh suaminya tak mendengarnya. Tetapi nyatanya umpatan itu telah mendarah daging. Saban hari, tanpa ia sadari, ia ngomel sendiri tidak karuan di depan rumahnya. Kalau sudah begitu, tetangganya pada bergerombol, sambil berbisik-bisik, “Murtini, gila.” Dan bisikan itu menyebar bagai angin. Semua orang akhirnya tahu Murtini memang benar-benar gila.
“To, To…apa kamu sudah modar! Nyangar istri berbulan-bulan tidak pernah memberi nafkah, membiarkan aku hidup menderita begitu. Suami gila, gendheng, edan! Awas kalau ketemu, akan aku bunuh kamu.” Dengan menghunus parang Murtini meninggalkan rumahnya. Matanya nyalang, menelusuri sudut-sudut kota, mencari suaminya.
***
Di sudut lorong kota, di bawah bangunan bobrok, Maruto berjalan tertatih-tatih. Wajahnya layu, mulutnya penuh busa, badanya lungrah, tak berdaya menahan kantuk. Setiap malam Maruto mengunjungi teman-temannya di seluruh pelosok kota. Ia menceritakan semua mimpi-mimpinya. Bahkan ia juga masuk ke panti-panti werda, rumah sakit, pos ronda, discotik, rumah bordil, kos mahasiswa, kasino, rumah pelukis, penyair, semua tak ketinggalan. Ia berharap, semua akan meringankan beban penderitaannya itu. Tetapi, yang didapat, makian, dampratan, usiran, dan senyum sinis dari mereka.
“Bajingan semua manusia itu,“ keluhnya. Kemudian ia pun kembali ngomel lagi, seperti orang kesurupan.
“Kenapa lihat-lihat?” hardik Maruto, pada seorang perempuan yang memandanginya. Perempuan itu membawa parang. “Ada yang lucu, ya?” kata Maruto lagi.
“Mukamu masam seperti kentut!” seru perempuan pembawa parang itu, sambil tertawa cekikikan. Maruto, hampir meradang. Tetapi kemudian ia juga tertawa.
“Ya, ya, sekarang aku tahu jawabannya, kenapa mereka tak mau menerimaku. Ternyata mukaku kayak kentut!” kata Maruto sambil terkekeh-kekeh.
“Tetapi, kamu tahu kenapa mukaku kayak kentut?” tanya Maruto, sesaat setelah mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kota. Tak ada jawaban. “Karena selama bertahun-tahun aku tak bisa berak dan kentut. Semua orang yang tak kentuti pada lari, karena kentutku memang mematikan,” kata Maruto sambil cengar-cengir.
“Ngomong-ngomong kenapa kamu membawa parang kemana-mana?” tanya Maruto tiba-tiba. Perempuan itu tiba-tiba berhenti. Ia bersandar ketembok yang penuh lumut. “Aku ingin membabat pohon!” jawabnya geram.
“Pohon?” tanya Maruto, seperti orang linglung. “Tetapi parangmu tak cukup tajam untuk membabatnya.”
“Pohonya, tidak terlalu besar kok. Ia kecil seperti kamu,” jawab perempuan.
“Seperti aku?”
“Ia, lelaki yang tidak bertanggung jawab!” keluh perempuan.
Mereka terus berjalan, menelusuri kota yang mendekati senja. Kota yang hiruk pikuk itu, tak mengerti keluh kesah mereka. Mereka berjalan seperti di lembah sunyi. Sunyi sekali.
“Hai, maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku?”
“Apa itu?” tanya perempuan pembawa parang.
“Cerita indah tentang pohon. Ya, mungkin pohon yang ingin kamu tebang itu. Tapi sebenarnya bila saya mampu saya hendak menebangnya sendiri. Tetapi tak kuasa.”
“Ceritakanlah.”
Lelaki itu kemudian bercerita. Ia bercerita tentang pohon. Ceritanya panjang sekali. Walaupun aneh dan tidak bisa dinalar, perempuan pembawa parang itu mendengarkannya dengan tulus. Ia mendengarkan dengan sorot mata yang tak pernah berkedip. Maruto bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Segala keluh kesahnya tumpah ruah. Cerita itu seperti tidak akan ada habisnya.
Maruto bercerita dari senja ke senja. Cerita itu bagaikan berbingkai-bingkai. Ini hukuman terberat yang harus diembannya. Sementara istrinya tak pernah mengerti bahwa dibalik mimpi-mimpinya itu adalah keniscayaan hidup yang terus dikuntit ketakutan-ketakutan. Sementara orang-orang yang dulu disubya-subya untuk menjadi wakilnya, kini malah menyingkangnya, bahkan terkadang juga mengancamnya. Kesetian tak berharaga sama sekali. Kerendahan hati dan ketulusan Maruto untuk menjadi simpatisan partai Beringin yang menyebabkan mbah Karto Dengkek menjadi lurah hampir seumur hidup, hanya dihargai puluhan ribu dan dua kaos atau terkadang supermi.
Sayang istrinya tak mengerti, di balik gerumbul pohon-pohon itu ada ratusan pencoleng yang siap menerkam gubuk-gubuk yang tak bernomer rumah itu. Kalau saja istrinya mau mendengar, ia tidak akan melakoni hidup pontang-panting. Namun Maruto sadar, jangankan istrinya, semua orang yang dikeluh kesahi pun tak akan percaya. Meski demikian, Maruto tetap tak ingin hidupnya terus dikuntit oleh maut.
“Kamu satu-satunya orang terakhir yang mau mendengar keluh kesahku tentang pohon-pohon bermayat yang terus meneror hidupku, “ kata lelaki itu. “Cerita itu tidak pernah bisa berakhir. Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Tampaknya kamulah orang yang bisa mengakhirinya,” lanjut lelaki itu.
Perempuan pembawa parang hanya diam. Kesunyian menyisakan degup jantung yang semakin keras. Sementara dikejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu lampion dari sebuah gedung negara. Perempuan itu bertanya-tanya, mengapa semua orang memasang lampu begitu terang benderang, sementara hidupnya sediri muram, bagai lampu kehabisan minyak? Perempuan itu juga bertanya-tanya, siapa lelaki di sampingnya yang telah tulus, telah menceritakan panjang lebar seluruh kemuramannya sehingga hatinya menjadi lega, berpancaran, bagai lampu-lampu neon jauh di seberang sana. Mengapa cerita itu persis dengan yang ia alami?
Perempuan itu hanya tersenyum kecut. Ia tidak menyadari telah melakukan perjalanan jauh menelusuri jalan-jalan terjal dalam hidupnya. Ia sadar cerita yang panjang itu, cerita yang menakutakan itu adalah cerita tentang hidupnya sendiri. Perempuan itu tak bisa memejamkan mata. Ia tak ingin ketakuatanya berkepanjangan. Ia ingin mengakhiri cerita itu.
“Tahukah kamu akhir dari cerita ini?” tanya Maruto seteleh keheningan memuncak di ubun-ubun.
“Menebang pohon itu,” jawab perempuan pembawa parang itu tegas.
“Tepat sekali. Kamu telah menemukan pohon yang akan kamu tebang. Lakukanlah!” Tanpa disadarinya perempuan pembawa parang itu telah menghunuskan parangnya. Ia bersiap membabat pohon dalam kepala Maruto. Desah napasnya begitu memburu. Ia melihat Maruto begitu pasrah. Ia mengacungkan parang sambil memejamkan mata. Ia teringat lelaki yang tak pernah berhenti mengeluh tentang pohon-pohon bermayat. Tetapi keputusannya harus segera mengakhiri penderitaannya. “Creeees!”
Malam gelap sekali. Dalam gelap itu terbentang jalan terang. Disana bapak dan ibu Maruto melambai-lambaikan tangannya. Maruto segera berlari dan memeluk erat orang tuanya. Sedetik kemudian, ia melihat sekelingnya gelap. Gelap sekali. Tidak ada cahaya. **
Surabaya, 2001

1 komentar:

Kritik Sastra mengatakan...

Cerpen ini membuktikan bahwa ada merupakan wujud ada yang ada di pikiran, bukan hanya yang tampak di mata. Tampaknya, ini lebih mengajak pembaca untuk memerpcayai wujud yang ada itu sebagai wujud yang ada di pikiran, bukan dari apa yang kita lihat. Ini dapat dilihat dari teks berikut ini: Tanpa disadarinya perempuan pembawa parang itu telah menghunuskan parangnya. Ia bersiap membabat pohon dalam kepala Maruto. Desah napasnya begitu memburu. Ia melihat Maruto begitu pasrah. Ia mengacungkan parang sambil memejamkan mata. Ia teringat lelaki yang tak pernah berhenti mengeluh tentang pohon-pohon bermayat. Tetapi keputusannya harus segera mengakhiri penderitaannya. “Creeees!”
Malam gelap sekali. Dalam gelap itu terbentang jalan terang. Disana bapak dan ibu Maruto melambai-lambaikan tangannya. Maruto segera berlari dan memeluk erat orang tuanya. Sedetik kemudian, ia melihat sekelingnya gelap. Gelap sekali. Tidak ada cahaya.