Minggu, 17 Juni 2012

Lakon Kalabendu



Cerpen R Giryadi

Janturan
Jamane wis edan. Wong edan dadi panutan. Wong waras padha ora jelas. Wong sugih wedi getih. Wong mlarat tambah kesrakat. Nayaka praja kinunjara. Dongane Kiai ora mandi. Kabeh wong padha ora percaya mring Gusti kang gawe dumadi.
***
Pra Lakon
Berita tewasnya Semar, membuat geger penduduk kota. Seluruh saluran televisi menyiarkan secara langsung berita tewasnya Semar. Media online, cetak, dan radio juga tak kalah serunya, mengabarkan tewasnya Semar.
Seluruh kota berduka. Tak hanya berita-berita, ucapan bela sungkawa segera menjamur di seluruh penjuru kota. Di sudut-sudut kota, seluruh baliho iklan berganti warna hitam, sebagai ucapan bela sungkawa. Semua rumah, meletakan karangan bunga tanda bela sungkawa.
Bahkan untuk menghormati tewasnya Semar, seluruh kota mengecat rumah, gedung perkantoran, gedung pemerintahan, toko, mal, plaza, hotel, tempat ibadah dengan warna hitam. Semua orang berlalu lalang dengan baju hitam, payung hitam, dan kaca mata hitam.
“Kita memasuki jaman kegelapan,” kata orang berblangkon dan bersurjan hitam.

Gara-gara
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis. Pakeliran hitam membentang. Blencong kehabisan penerang. Para wayang kehilangan bayangan. Semar hilang melayang!
***
Langit berwarna hitam. Kota besar yang dulu penuh dengan hingar bingar musik dan hiruk pikuk lalu-lintas, kilau cemerlang lampu pada malam hari, kini berubah menjadi hutan belantara nan gelap gulita.
Akar-akar pohon besar menjalar-jalar ke seluruh sudut kota, meremukan beton-beton gedung pencakar langit. Tembok-tembok kota yang dulunya penuh dengan poster-poster agitasi, banyak dirambati lumut hitam.
Orang-orang yang suka berakhir pekan harus memendam kekecewaan. Pantai dan kolam-kolam renang berubah menjadi karang hitam. Plaza-plaza dan mal-mal penuh tumbuhan perdu berakar tunggal. Gedung dewan dan kator walikota, bopeng oleh jamur hitam.
Pada malam bulan bulat telur, teriakan serigala mengiris jiwa rapuh. Disaat orang-orang lena, beberapa makluk aneh, berseragam hitam-hitam, mengendap-endap di antara gumam malam, menculik orang-orang yang terlena. Mereka yang hilang ditemukan terbungkus daun pisang, teronggok di antara rumpun-rumpun kering.
Mereka yang bernasib baik, mayatnya terbungkus kantong plastik bekas, atau koper besar. Mereka tidak pernah kembali, namanya dicatat di batang-batang pohon. Pohon-pohon seperti batu-batu nisan, untuk mereka yang tidak kembali.
“Kita harus akhiri bebendu ini!” teriak seorang pemuda lantang.
Teriakan itu hanya menembus telinga kiri, keluar telinga kanan. Pemuda itu hanya menjadi bayangan hitam di tengah malam wingit. Namanyapun tertoreh di pohon pinggir kota.
“Ia mati menelan suaranya sendiri!” bisik seorang bergigi mrongos.
“Ia diculik raksasa hitam,” timpal si Juling.
“Kita harus mencari Semar!”
“Hanya Semar yang akan menyelamatkan kita!”
“Semar sudah tewas!” seru orang-orang bersarung.
“Dimana kuburnya?!” teriak orang berpeci.
“Tak ada?” desah anak-anak kecil sembari menggigit jarinya.
Ibu-ibu, segera menutup mulut anaknya yang ceriwis. Beberapa diseret masuk rumah. Sementara pohon-pohon besar, bergoyang-goyang mendatangkan angin. Atau bergetar oleh bumi yang menggeliat. Raksasa berseragam daun talas, muncul dari rekahan-rekahan bumi. Ia mengaum begitu keras.
“Akulah Semmmmmmmmmmaaaarrrrr!”
Orang-orang berhamburan seperti daun kering.
Anak-anak sembunyi di kolong amben. Mereka yang anak mama, sembunyi di balik punggung mamanya. Mama seluruh kota, sibuk menenangkan anaknya yang menggigil ketakutan.
“Dia bukan Semar!” teriak sang Pemberani. “Ia hanya macak Semar! Semar palsu!”
”Raksasa besar hanya akan tunduk oleh jiwa yang besar!” saran sorang motivator.
“Ini Semar sedang tiwikrama,” kata seorang berblangkon.
Raksasa berseragam daun talas menyeringai: “E..e..e..megegeg ugeg-ugeg sadulita-sadulita!
“Horeeeeee...Semar hidup lagi!” teriak orang-orang, menggema ke seluruh pelosok kota.
Hutan yang tadinya wingit tiba-tiba kembali hingar bingar. Kota yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang. Orang-orang bersuka ria sepanjang siang dan malam, menyambut Semar.
Tetapi mana Semar yang asli? Pada detik yang sama, seseorang berambut putih dengan mata berair, mengaku dirinya Semar. Raksasa berseragam daun talas, menghalau dengan penuh amarah. Lelaki berambut putih, menepis dengan ajian saktinya, ‘kentut meletus’.
Saat terjadi perkelahian dua Semar, muncul Semar-Semar yang lain. Semar-Semar itu hidup dari bayangan orang-orang yang berdiri terpaku melihat pertempuran antar Semar.
“Mana Semar yang asli?!” seru orang-orang setelah melihat ribuan Semar bermunculan.
“Tak ada yang asli di bumi ini!” seru orang berkepala botak.
Pertempuran seribu Semar menjadi tontonan sepanjang hari. Tak ada yang bisa dikalahkan. Perang seribu Semar, tak pernah berakhir. Orang-orang lelah menunggu pemenang.
“Tak ada pemenang!”
“Jiwa yang remuk, mampukah disulam dengan benang kusut?
Perang seribu Semar belum berakhir atau tak pernah berakhir. Di tembok-tembok kota tertempel poster-poster iklan motivasi, jasa penguburan, dan jasa pengamanan. Namun mereka yang tak sempat pergi kemanapun, menegak pil penenang sampai overdosis. Mayatnya ditemukan di pinggir kota dengan sisa busa di mulutnya.
”Mereka mati karena tak bisa menerima kekalahan!”
“Inilah kota hitam. Kota orang-orang berduka!” kata orang berblangkon, hampir tak terdengar.
Masya’Allah!?” seru mereka bersama-sama.
Orang-orang pada berlutut, menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Mereka bersama-sama bergumam, “Innalillahi wa inna ilaihi roji'un!” menyaksikan banyak mayat bergelimpangan di sekitar mereka.
“Mereka semua Semar?”
Kita semua Semar?”
“Siapa yang membunuhnya?”
Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara mbrengengeng, seperti lebah, melafalkan doa.

Semar Semaran
Di desa Klampis, seorang lelaki duduk dengan tekunnya. Ia tengah menyelesaikan sunggingan terakhir. Sunggingan wayang Semar. Ini sudah beribu Semar yang telah ditatah dan disunggingnya. Setiap selesai menggambar Semar, ia berkeliling desa, mengabarkan Semar masih hidup.
Namun dari seribu Semar yang sudah digambarnya, tak satupun yang bisa membuat orang-orang di desa Klampis percaya, bahwa Semar masih hidup.
Meskipun begitu lelaki yang setia dengan Semar itu tak pernah menyerah. Ia terus saja menggambar Semar yang sudah dilupakan orang. Istrinya yang juga sudah tua, terus mengingatkan, agar tidak meneruskan pekerjaannya yang sia-sia itu.
“Semar, tidak mungkin hidup lagi. Lupakanlah!” sergah istrinya.
Perkataan istrinya, justru tak meluluhkan semangatnya. Ia juga coba menggelar lakon Semar Ngeja Wantah, Semar Mbabar Jati Diri, atau membuat lakon carangan tentang Semar. Bahkan lelaki itu kini telah merubah dirinya menjadi Semar.
Orang-orang desa Klampis tertawa-tawa melihat lelaki dengan perut tambun, pantat menyembul ke belakang, wajah bercat putih, bibirnya berwarna merah darah. Matanya menyorotkan penderitaan. Anak-anak kecil menyebutnya, Telletubies.

Pasca Lakon
 “Kenapa lelaki tua itu masih saja menjadi Semar? Mengapa kalian tak segera menghabisinya!” kata lelaki berkaca mata hitam. “Seret teroris itu kemari!” serunya.
Tak berselang jam, lelaki tua diseret menghadap orang berkaca mata hitam di pinggiran desa Klampis.
Mengapa kamu masih saja menjadi Semar?!” kata lelaki berkaca mata hitam.
Saya hanya ingin menghibur orang-orang yang kehilangan Semar?”
“Tidak ada Semar-semaran!” bentak lelaki berkaca mata hitam.
“Tetapi?”
Lelaki berkaca mata hitam memberi isyarat kepada para pengawal. Burung gagak menjerit-jerit. Daun kamboja berguguran di musim kemarau. Sebuah nisan tertancap di antara ilalang bertuliskan: Semar.
Jauh bermil-mil dari pinggir desa Klampis, orang-orang sibuk berdiskusi tentang kejujuran dan kebenaran. Mereka berbicara di pagi yang cerah, sembari minum teh hangat, di sebuah stasiun televisi. Mereka berteriak, ‘Kebenaran dan kejujuran harus ditegakkan’, diselingi iklan kecap no 1, kecap paling sempurna.
Melihat siaran itu, Semar hanya menyeringai sambil mematikan TV.
“Kebenaran dan kejujuran sudah mati...” katanya. Tancep kayon!

Surabaya, 2011

2 komentar: