Janturan
Jamane
wis edan. Wong edan dadi panutan. Wong waras padha ora jelas. Wong sugih wedi
getih. Wong mlarat tambah kesrakat. Nayaka praja kinunjara. Dongane Kiai ora
mandi. Kabeh wong
padha ora percaya mring Gusti kang gawe dumadi.
***
Pra Lakon
Berita tewasnya
Semar, membuat geger penduduk kota. Seluruh saluran televisi menyiarkan secara
langsung berita tewasnya Semar. Media online, cetak, dan radio juga tak kalah
serunya, mengabarkan tewasnya Semar.
Seluruh kota
berduka. Tak hanya berita-berita, ucapan bela sungkawa segera menjamur di seluruh
penjuru kota. Di sudut-sudut kota, seluruh baliho iklan berganti warna hitam,
sebagai ucapan bela sungkawa. Semua rumah, meletakan karangan bunga tanda bela
sungkawa.
Bahkan untuk menghormati
tewasnya Semar, seluruh kota mengecat rumah, gedung perkantoran, gedung
pemerintahan, toko, mal, plaza, hotel, tempat ibadah dengan warna hitam. Semua
orang berlalu lalang dengan baju hitam, payung hitam, dan kaca mata hitam.
Gara-gara
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging
alis. Pakeliran hitam membentang. Blencong
kehabisan penerang. Para wayang kehilangan bayangan. Semar hilang melayang!
***
Langit berwarna
hitam. Kota besar yang dulu penuh dengan hingar bingar musik dan hiruk pikuk
lalu-lintas, kilau cemerlang lampu pada malam hari, kini berubah menjadi hutan
belantara nan gelap gulita.
Akar-akar pohon besar
menjalar-jalar ke
seluruh sudut kota, meremukan beton-beton gedung pencakar langit. Tembok-tembok kota yang
dulunya penuh
dengan poster-poster agitasi, banyak dirambati
lumut hitam.
Orang-orang yang suka
berakhir pekan harus memendam kekecewaan.
Pantai dan kolam-kolam
renang berubah menjadi karang hitam.
Plaza-plaza dan mal-mal penuh
tumbuhan perdu berakar tunggal. Gedung dewan dan kator walikota, bopeng oleh
jamur hitam.
Pada malam bulan bulat
telur, teriakan serigala mengiris
jiwa rapuh. Disaat orang-orang lena, beberapa makluk aneh, berseragam hitam-hitam, mengendap-endap di
antara gumam malam, menculik orang-orang yang terlena. Mereka yang hilang ditemukan terbungkus daun pisang, teronggok di antara rumpun-rumpun
kering.
Mereka yang bernasib baik, mayatnya
terbungkus kantong plastik bekas, atau koper besar. Mereka tidak pernah
kembali, namanya dicatat di batang-batang pohon. Pohon-pohon seperti batu-batu
nisan, untuk mereka yang tidak kembali.
“Kita harus akhiri bebendu ini!” teriak seorang pemuda
lantang.
Teriakan itu hanya menembus
telinga kiri, keluar telinga kanan. Pemuda itu hanya menjadi bayangan hitam di tengah
malam wingit. Namanyapun tertoreh di
pohon pinggir kota.
“Ia mati menelan
suaranya sendiri!” bisik seorang bergigi mrongos.
“Ia diculik raksasa
hitam,” timpal si Juling.
“Kita harus mencari
Semar!”
“Hanya Semar yang
akan menyelamatkan kita!”
“Semar sudah
tewas!” seru orang-orang bersarung.
“Dimana kuburnya?!”
teriak orang berpeci.
“Tak ada?” desah
anak-anak kecil sembari menggigit jarinya.
Ibu-ibu, segera
menutup mulut anaknya yang ceriwis. Beberapa diseret masuk rumah. Sementara pohon-pohon
besar, bergoyang-goyang mendatangkan angin. Atau bergetar oleh bumi yang
menggeliat. Raksasa berseragam daun talas, muncul dari rekahan-rekahan bumi. Ia
mengaum begitu keras.
“Akulah
Semmmmmmmmmmaaaarrrrr!”
Orang-orang
berhamburan seperti daun kering.
Anak-anak
sembunyi di kolong
amben. Mereka yang anak mama,
sembunyi di balik punggung
mamanya. Mama
seluruh kota, sibuk menenangkan anaknya yang menggigil ketakutan.
“Dia bukan Semar!”
teriak sang Pemberani. “Ia hanya macak Semar!
Semar palsu!”
”Raksasa besar hanya
akan tunduk oleh jiwa yang besar!” saran sorang motivator.
“Ini Semar sedang
tiwikrama,” kata seorang berblangkon.
Raksasa berseragam
daun talas menyeringai: “E..e..e..megegeg
ugeg-ugeg sadulita-sadulita!”
“Horeeeeee...Semar
hidup lagi!” teriak orang-orang, menggema ke seluruh pelosok kota.
Hutan yang tadinya wingit tiba-tiba kembali hingar bingar.
Kota yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang. Orang-orang bersuka
ria sepanjang siang dan malam, menyambut Semar.
Tetapi mana Semar
yang asli? Pada detik yang sama, seseorang berambut putih dengan mata berair,
mengaku dirinya Semar. Raksasa berseragam daun talas, menghalau dengan penuh
amarah. Lelaki berambut putih, menepis dengan ajian saktinya, ‘kentut meletus’.
Saat terjadi
perkelahian dua Semar, muncul Semar-Semar yang lain. Semar-Semar itu hidup dari
bayangan orang-orang yang berdiri terpaku melihat pertempuran antar Semar.
“Mana Semar yang
asli?!” seru orang-orang setelah melihat ribuan Semar bermunculan.
“Tak ada yang asli
di bumi ini!” seru orang berkepala botak.
Pertempuran seribu Semar
menjadi tontonan sepanjang hari. Tak ada yang bisa dikalahkan. Perang seribu
Semar, tak pernah berakhir. Orang-orang lelah menunggu pemenang.
“Tak ada pemenang!”
“Jiwa
yang remuk, mampukah disulam dengan benang kusut?”
Perang seribu Semar
belum berakhir atau tak pernah berakhir. Di
tembok-tembok kota tertempel poster-poster iklan motivasi, jasa penguburan, dan
jasa pengamanan. Namun mereka yang tak sempat pergi kemanapun, menegak pil
penenang sampai overdosis. Mayatnya ditemukan di pinggir kota dengan sisa busa
di mulutnya.
”Mereka mati karena tak
bisa menerima kekalahan!”
“Inilah kota hitam. Kota orang-orang berduka!”
kata orang berblangkon,
hampir tak terdengar.
“Masya’Allah!?”
seru mereka bersama-sama.
Orang-orang
pada berlutut, menyaksikan
pemandangan yang mengerikan. Mereka bersama-sama bergumam, “Innalillahi wa
inna ilaihi roji'un!” menyaksikan banyak mayat bergelimpangan di sekitar
mereka.
“Mereka semua Semar?”
“Kita semua Semar?”
“Siapa yang
membunuhnya?”
Tak ada jawaban. Hanya
terdengar suara mbrengengeng, seperti
lebah, melafalkan doa.
Semar Semaran
Di
desa Klampis, seorang lelaki
duduk dengan tekunnya. Ia tengah menyelesaikan
sunggingan terakhir. Sunggingan wayang Semar. Ini sudah beribu Semar yang telah
ditatah dan disunggingnya. Setiap selesai menggambar Semar, ia berkeliling
desa, mengabarkan Semar masih hidup.
Namun dari seribu Semar
yang sudah digambarnya, tak satupun yang bisa membuat orang-orang di desa
Klampis percaya, bahwa Semar masih hidup.
Meskipun begitu lelaki
yang setia dengan Semar itu tak pernah menyerah. Ia terus saja menggambar Semar
yang sudah dilupakan orang. Istrinya yang juga sudah tua, terus mengingatkan,
agar tidak meneruskan pekerjaannya yang sia-sia itu.
“Semar, tidak mungkin
hidup lagi. Lupakanlah!” sergah istrinya.
Perkataan istrinya,
justru tak meluluhkan semangatnya. Ia juga coba menggelar lakon Semar Ngeja Wantah, Semar Mbabar
Jati Diri, atau membuat lakon carangan tentang Semar. Bahkan lelaki itu kini telah merubah dirinya menjadi
Semar.
Orang-orang desa
Klampis tertawa-tawa melihat lelaki dengan perut tambun, pantat menyembul ke belakang,
wajah bercat putih, bibirnya berwarna merah darah. Matanya menyorotkan
penderitaan. Anak-anak kecil menyebutnya, Telletubies.
Pasca Lakon
“Kenapa lelaki
tua itu masih saja menjadi
Semar? Mengapa kalian tak segera
menghabisinya!” kata lelaki berkaca
mata hitam. “Seret teroris itu kemari!” serunya.
Tak berselang jam, lelaki tua diseret menghadap orang berkaca mata hitam di pinggiran desa
Klampis.
“Mengapa kamu masih saja menjadi Semar?!”
kata lelaki berkaca mata hitam.
“Saya hanya ingin menghibur
orang-orang yang kehilangan Semar?”
“Tidak ada Semar-semaran!”
bentak lelaki berkaca mata hitam.
“Tetapi?”
Lelaki berkaca mata
hitam memberi isyarat kepada para pengawal.
Burung gagak menjerit-jerit. Daun kamboja
berguguran di musim kemarau. Sebuah nisan tertancap di antara ilalang
bertuliskan: Semar.
Jauh bermil-mil
dari pinggir desa Klampis, orang-orang sibuk berdiskusi tentang kejujuran dan
kebenaran. Mereka berbicara di pagi yang cerah, sembari minum teh hangat, di
sebuah stasiun televisi. Mereka berteriak, ‘Kebenaran dan kejujuran harus
ditegakkan’, diselingi iklan kecap no 1, kecap paling sempurna.
Melihat siaran itu,
Semar hanya menyeringai sambil mematikan TV.
“Kebenaran dan
kejujuran sudah mati...” katanya. Tancep
kayon!
Surabaya, 2011
2 komentar:
seeppp...
seep...he he he
Posting Komentar