Jumat, 22 Februari 2008

Sebuah Makam Untukku


Cerpen R Giryadi

Ketika menjejakkan kaki di jalan beraspal ini, aku membayangkan ibu yang wajahnya mulai dirambati garis-garis ketuaan yang tegas. Seorang ibu yang barangkali hanya duduk termenung sambil menunggu waktu pagi berubah malam. Seorang ibu yang kesepian. Seorang ibu yang tidak tahu dimana alamat anaknya yang puluhan tahun lalu pergi kemudian tak segera kembali.
Apakah setelah sepuluh tahun yang lalu, ibu akan berpikir lain? Apakah ia masih mengenaliku sebagai anaknya? Apakah di rumah –warisan kakek- sudah berganti gambar bapak pembangunannya? Masihkah disana tergantung gambar butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ? Atau masihkah ia menyimpan alat simulasi P4 yang harus dimainkan oleh warga untuk bisa menghapal butir-butirnya?

Ah, wajah ibu begitu asing untuk aku jejaki kembali, setelah sekian tahun, aku lupakan, dia sebagai wanita yang pernah menyuruhku, memilih tanda gambar Partai Beringin. Hanya gambaran wajahnya dilangit-langit kosong. Bahkan, untuk merunut lagi kenangan-kenangan itu bagai membongkahi batu jalan yang tertancap dalam aspal yang pekat.
Aku hanya terngiang-ngiang suara ibu di speaker yang dipasang di atap dokar Pak De sewaktu kampanye dulu, atau sewaktu ibu berkeliling kampung mengabarkan kepada semua ibu-ibu untuk mau ber-KB (Keluarga Berencana).
Aku merasakan hawa begitu kering, sekering hatiku untuk berani menghadap ibu. Anak-anak yang lewat juga berwajah kering, seakan tak ada yang mengenaliku. Aku tidak tahu, mengapa wajah mereka seperti mayat yang ratusan tahun dimumi?
Mengapa suasana begitu kering, tak berdaya, dan seperti tidak mempunyai daya hidup? Kantor kelurahan persis seperti kuburan, gersang dan tandus. Di sana-sini temboknya bongkah, dimakan lumut. Kayu penyangga genting banyak yang rompal, digerogoti rayap.
Inikah wajah desa yang di pintu masuk desa didirikan monumen peringatan, Desa Pancasila? Monumen yang bercokol di depan gedung sekolahan itu, kelihatan seperti sebuah menhir, yang tinggal menunggu kerobohannya.
Sesampai di tugu perbatasan, aku seperti melihat garis titik nadir peradapan. Aku benar-benar menyaksikan desa yang bergeming dari masa lalunya. Kalaupun ada perubahan, hanya gambaran yang mengesankan suatu yang telah menjadi purba dan sebentar lagi punah.
Puluhan tahun yang lalu, kampung ini marak dengan berbagai atribut kemanangan. Rumah-rumah penduduk, distempel dengan tanda –mau tidak mau- gambar Partai Beringin. Bahkan semua cat rumah dan pagar diseragamkan. Ibu, bapak, dan perangakat pemerintah, begitu membabi buta, menikmati kemenangan demi kemenangan.
Ketika aku melangkah beberapa meter dari tugu perbatasan, sorot mata para tetangga tajam memandangku. Mereka seperti menyaksikan makluk asing yang tiba-tiba menjamah desanya. Semestinya mereka tahu, bahwa pemuda yang sekarang berjalan dengan menyangklong rangsel gunung, kaca mata hitam, sirip hiu di ikat pinggang, sepatu lars, dan air mineral yang diselipkan di saku samping celana, adalah pemuda putera keluarga Suganda Marta Prawira, mantan jurkam Partai Beringin yang mereka cintai.
Tampaknya sorot mereka tak begitu mengenaliku. Mereka seperti melihat anjing dari pada manusia yang bertitel sarjana.
“Mari, Pak, Bu, Dik,” sapaku pada orang-orang untuk mencairkan suasana. Seperti dugaanku, mereka tak menyahut sapaanku. Bahkan, mereka segera berlalu tanpa menghiraukan kedatangannku.
Akhirnya di depan tugu yang hampir ambruk karena batu batanya sudah tampak tua, aku berdiri melihat pemandangan yang cukup aneh. Sebuah rumah yang tertutup rapat, seperti tidak ada kehidupan. Bau lumut kering begitu menyengat. Ilalang tumbuh lebat. Rumah dengan cat kuning yang telah kusam itu, seperti kamar mayat rumah sakit yang tak terawat. Atau seperti situs candi yang hanya tinggal menunggu ambruk dimakan gulma. Aku berjalan menembus kegelapan hatiku. Apakah ibu masih mengenaliku?
“Cari siapa?!” tanya seorang perempuan yang berjalan membungkuk karena beban kayu dipunggungnya. Tidak salah lagi perempuan tua itu ibuku.
“Aku Teja, Bu,” kataku tergopoh-gopoh. Perempuan tua yang aku anggap ibu itu, memandangku dengan tanda tanya di keningnya.
“Teja?” Perempuan tua itu, meletakan kayu bakarnya. Dahinya berkerut-kerut memeras ingatan. Sampai beberapa kedipan mata, ia bicara. “E…, saya pernah dengar. Te…ja..? Kalau Teja anaku telah mati,” lanjutnya dengan mata yang tiba-tiba berubah sendu. Ia menatap tanah dan kakinya yang kering.
“Sudah mati? Ini aku Teja Murti, putra pak Suganda Marta Prawira dan Ibu Sugiarti,” kataku memberi penjelasan. Perempuan yang aku kira ibuku itu perlahan-lahan mengangkat mukanya yang dibasahi air mata.
“Beberapa tahun yang lalu ia hilang. Dan orang-orang telah membuatkannya makam di samping leluhurnya,” kata perempuan tua itu, sembari mengangkat kembali kayu bakar dari patahan ranting-ranting kering.
“Mereka salah, Bu. Ini aku benar-benar Teja. Aku masih segar bugar. Belum mati!” Namun perempuan tua itu tak memperdulikanku. Aku mengikuti langkah gontai perempuan tua yang keberatan memanggul kayu bakar. Inikah si Pahlawan yang telah banyak menyumbangkan kehidupannya pada partai yang dicintainya, melebihi mencintai anak dan keluarganya?
“Ibu harus percaya, bahwa saya Teja yang lahir dari rahim ibu,” kataku lagi ketika sesampai di dekat kandang ayam yang hampir roboh.
“Nak, kepada siapa saya harus percaya. Pada ratusan orang yang telah memberikan ucapan duka cita, atau pada rengekan seorang anak muda. Ia telah mati. Ia telah mati menguburkan cita-cita kami!” serunya kemudian, dengan suara ketuaannya yang gemetar.
Aku benar-benar tengah menjejaki tanah asing, tanah yang telah menanam orokku. Di kuburan para leluhurku memang telah tertanam nisan, bertuliskan :

Teja Murti
Lahir : 22 Desember 1969
Wafat : - 1998

Siapa dia? Kuburan siapa dia? Teja Murti yang mana? Beribu pertanyaan menjejali otakku. Dari Pak RT sampai Pak Lurah pun membenarkan, bahwa itu kuburan Teja Murti, putra almarhum, pak Suganda.
“Anak ini siapa? Didata penduduk kami, nama Teja Murti telah dinyatakan meninggal dunia,” kata Pak Lurah seperti menohok jantungku.
“Tapi saya ini benar-benar Teja, yang puluhan tahun lalu kuliah ke Jakarta,” kataku menyela.
“La, itu makam siapa?” tanya Pak RT yang ikut pertemuan itu.
“Saya tidak tahu?” jawabku singkat. Tiba-tiba Pak RT berbisik pada Pak Lurah. Setelah Pak Lurah berdehem, dua orang Hansip tiba-tiba menggelandangku keluar.
“Kalau bukan penduduk sini jangan mengaku-ngaku, ya! Bikin onar saja!” bentak Hansip seraya mendorongku keluar dari pekarangan kantor desa yang persis seperti kuburan.
Kepada ibuku, akhirnya aku harus merengek-rengek, agar diakui sebagai anaknya. Namun ibu bergeming dari pendirianya. Mengapa ia menjadi bisu? Padahal, puluhan tahun yang lalu, beribu-ribu kata membuncah dari mulutnya yang kini kelihatan keriput dan bergetar. Mengapa sorot ibu begitu benci padaku? Mengapa ia rela menancapkan nisan di makam leluhur untukku?
“Ibu, apa yang terjadi?”
“Jangan panggil aku Ibu. Kamu bukan anakku!”
“Aku Teja, anakmu, Bu…”
“Kalau anakku kenapa tega kau lakukan ini semua?”
“Saya telah melakukan apa?”
Ibu tak menjawab. Sedetik matanya menerawang. Tiba-tiba tubuhnya bergetaran dan raut wajahnya memancarkan ketakutan.
“Sebaiknya kau pergi. Jangan menambah penderitaanku!”
Di halaman rumah, orang-orang berkelebat. Aku melihat mereka menghunus senjata. Ia memandang rumah reot ini bagai memandang bangkai anjing yang najis. Siapa mereka? Mengapa mereka mengepung rumah ibu. Aku beranikan diri keluar, melihat orang-orang dengan mata kebencian yang menusuk hati.
“Hai, pahlawan! Ada baiknya kau pergi dari kampung ini. Tidak baik terlalu berlama-lama!” seru salah seorang berpakaian doreng-doreng.
Aku menoleh pada ibu. Tetapi tak mendapat jawaban. Ia menunduk. Rambutnya menutupi seluruh wajahnya yang kelu. Apakah ini pertanda ibu tidak menerimaku lagi sebagai anaknya?
Dengan berat hati, aku mengangkat rangsel yang lusuh. Dadaku berdegup ketika melintas di depan orang-orang yang dulu aku kenal sebagai simpatisan Partai Beringin dan sangat loyal pada bapak. Aku tidak mengerti mengapa ia sekarang berubah seperti harimau? Dari bisik-bisik mereka, aku mengerti bahwa kerusakan desa ini akibat dari gugurnya masa kejayaan Partai Beringin.
Memang desaku dulu sangat fanatik dengan Partai Beringin. Aku masih ingat, betapa orang yang ketahuan memilih partai lain, mereka akan diasingkan. Orang-orang pun takut berdekatan dengan orang yang memilih partai lain, karena takut dicap PKI (Partai Komunis Indonesia). Saya tahu semua itu karena hasil kerja keras bapak dan ibu yang saban hari tak henti-hentinya ngoroki telinga penduduk yang sebagaian besar tak pernah makan sekolahan dan buta politik. Karena itulah tak heran bila mereka pada akhirnya mencintai partainya itu dengan membabi buta.
“Teja!” tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari belakang.
“Urip?” sapaku setengah bertanya-tanya.
“Ya. Wih…ternyata kamu masih hidup?” sahut Urip.
“Ada apa memang?” tanyaku heran.
“Sssst…ayo ke rumahku.” Urip menyeretku seakan sedang mengungsikanku dari kecamuk perang dasyat.
“Memang, setelah gegeran di Jakarta berlalu, di kampung ini terjadi perubahan sangat drastis. Kalau kamu melihat tidak ada perubahan sama sekali, karena desa kita ini masih fanatik dengan partainya yang dulu-dulu. Saya tidak tahu, bagaimana ini bisa terjadi, tiba-tiba desas-desus tersiar, semua ini karena ulahmu dan teman-temanmu di Jakarta itu. Bahkan sangking jengkelnya, kamu dikabarkan mati. Entah dari mana kabar itu, ibumu pun percaya, kalau kamu juga mati di tengah ontran-ontran di Jakarta itu. Mendengar berita itu, bapakmu mendadak sakit. Tak lama kemudian ia meninggal dunia. Sedihnya orang-orang yang dulu setia padanya tak ada yang mau melawat,” kata Urip setengah berbisik, ketika kami sampai di rumahnya.
“Saya tidak tahu, mengapa orang-orang sangat benci dengan keluargamu?” lanjut Urip.
Aku melenguh, melepas napas panjang-panjang. Dari luar, aku mendengar suara derap orang berlarian. Ketika aku intip dari lubang kunci pintu, aku melihat bayangan orang berkelebatan membawa pentungan. Urip berlari kebelakang. Tiba-tiba pintu depan didobrak dengan paksa. Seditik saja, orang-orang meringsek ke dalam dan memukuliku habis-habisan.
“Uuurrrrriiiiipppp…toloooonnggg!” seruku di tengah suara caci maki orang yang dengan membabi buta menggebugkiku bagai anjing.
“Dasar pengecut! Penipu! Bisanya hanya obral janji. Matilah kamu! Matilah pahlawan gadungan!” seru orang-orang membabi buta. Disaat seperti itu aku melihat Urip tersenyum sinis. Sorot matanya memendam kebencian.
“Kau tahu, akibat ulahmu aku gagal jadi lurah!” seru Urip seraya mengayunkan pentungannya ke wajahku. Saat itulah aku ingat, Urip adalah salah satu pemuda yang dicap PKI oleh bapak, karena ketahuan memilih Partai Banteng.
“Matilah kau PKI!” seru Urip dan membuat seluruh pandanganku gelap gulita.

Surabaya, 2006

Tidak ada komentar: