Esai R Giryadi
Mesin ketik tua, peninggalan bapak tak segera aku
jamah. Padahal kepala ini seperti sudah mau meledak, menumpahkan segala
imajinasi yang menyodok-nyodok ubun-ubun. Tetapi tangan ini seperti kelu,
ketika hendak memukul tut-tut mesin ketik. Sampai beberapa menit kemudian aku
tak beranjak dari tempat duduk.
Di mataku berkelebat, laki-laki tua dengan sorot
mata tanpa daya hidup. Di punggungnya seperti memanggul beban berat yang harus
diangkatnya ke puncak gunung. Tetapi batu itu menggelundung begitu saja. Dan
laki-laki itu kembali memanggulnya ke puncak gunung. Padahal, masih ada empat
batu yang belum diangkatnya?
Aku menghela napas. Sampai sedetik, dua detik, tiga
detik, bahkan satu jam. Tak satu katapun berkelebat dibenakku. Aku pejamkan
mata. Aku seruput kopi pahit. Aku hisap racun tembakau. Aku menyembah Dewa Ide.
“Emangnya gue pikirin,” kata Dewa Ide, mendengar jeritan hatiku.
”Buset, aku ketahuan!” keluhku pada teman yang
tiba-tiba hadir disampingku.
”Kalau otak lagi kosong mlompong, jangan paksa
menulis,” sergah temanku yang bertubuh kurus. (Mungkin lebih kurus dari aku).